Sejarah Perjalanan Indonesia (Masa Pendudukan Jepang, Proklamasi Kemerdekaan Indonesia dan Mempertahankan Kemerdekaan Indonesia)
Pada pembahasan sebelumnya kita membahas mengenai Sejarah Perjalanan Indonesia (Kedatangan Bangsa Barat || Awal imperialisme dan kolonialisme bangsa Barat ke Indonesia),
pada kesempatan kali ini kita akan membahas mengenai Sejarah Perjalanan Indonesia (Masa Pendudukan Jepang, Proklamasi Kemerdekaan Indonesia dan Mempertahankan Kemerdekaan Indonesia). Berikut pembahasannya;
1. Masa Pendudukan Jepang
Pada tanggal 1 September 1939, Perang Dunia Kedua pecah. Setelah tujuh hari berperang, Nazi Jerman menaklukkan Belanda pada 17 Mei 1940. Belanda, khususnya Yahudi dan Gipsi, menjadi korban kekejaman Nazi Jerman. Pemerintahan Kerajaan Belanda melarikan diri ke Inggris. Nazi Jerman bersekutu dengan Kekaisaran Jepang.
Pada 7 Desember 1941, Angkatan Laut Kekaisaran Jepang mengebom pangkalan laut Angkatan Laut Amerika Serikat yang tengah berlabuh di Pangkalan AL Pearl Harbor, Hawaii pada pukul 07:38 pagi waktu Hawaii. Hal ini kemudian memicu terjadinya Perang Dunia ke 2. Pada 8 Desember 1941, Pemerintah Hindia Belanda menyatakan perang terhadap Jepang. Pada saat yang sama pula, Kongres AS menyatakan perang terhadap Jepang. Tiga hari kemudian, Jerman menyatakan perang terhadap Amerika Serikat.
Kondisi ini menyebabkan Amerika Serikat bergabung dengan pasukan Sekutu dan ikut serta dalam pertempuran di Eropa dan kawasan Asia-Pasifik. Perang Pasifik berdampak besar terhadap pergerakan kemerdekaan negara-negara Asia Timur, termasuk Indonesia. Tujuan Jepang menyerbu dan menduduki Hindia Belanda adalah untuk menguasai sumber daya alam khususnya minyak bumi, guna menunjang potensi militer Jepang dan industrinya. Jawa dirancang sebagai pusat pasokan seluruh operasi militer di Asia Tenggara, dan Sumatera dirancang sebagai sumber minyak penting.
Baca juga: Restorasi Meiji : Awal modernisasi Jepang
Lalu, bagaimana proses penguasaan Hindia Belanda oleh Jepang? Bagaimana sikap rakyat Indonesia kepada Jepang? Apa kebijakan Jepang saat menduduki Indonesia? Berikut ulasannya;
A. Proses penguasaan Hindia Belanda oleh Jepang
Ketika memasuki Indonesia, Jepang menjadi negara yang berideologi fasisme. Fasisme adalah sistem pemerintahan di mana kekuasaan berada di tangan para diktator dan otoriter. Negara fasis menjadi sangat nasionalistis (chauvinistik), elitis dan rasis. Untuk menghadapi serangan Jepang, blok sekutu, yang meliputi Belanda, Amerika Serikat, Australia dan Inggris membentuk ABDACOM (American-British-Dutch-Australian Command) atau Komando Gabungan Tentara Serikat yang bermarkas di Lembang. Letnan Jenderal Ter Poorten diangkat menjadi panglima ABDACOM.
Pada bulan Januari 1942, Jepang mendarat di Indonesia melalui Ambon dan mengambil alih seluruh Maluku. Pada tanggal 11 Januari 1942, Jepang mendarat di Tarakan di Kalimantan Timur. Jepang menduduki kota minyak Balikpapan pada 24 Januari. Setelah berhasil mencapai Pontianak, Samarinda pada 3 Februari 1942, dan Banjarmasin pada 10 Februari 1942. Jepang menyerbu Sumatera. Setelah menguasai wilayah di luar Pulau Jawa, Jepang fokus menguasai Pulau Jawa sebagai pusat pemerintahan Hindia Belanda. Pada Pertempuran Laut Jawa, armada Jepang berhasil menghancurkan pasukan gabungan Belanda dan Inggris yang dipimpin oleh Laksamana Karel Doorman. Pasukan dan kapal Belanda yang lain berhasil melarikan diri dan melarikan diri ke Australia.
Pada tanggal 15 Februari, pesawat pengebom Jepang menyerang Batavia dan pemerintahan dipindahkan ke Bandung, khususnya Hotel Savoy Homann dan Hotel Preanger. Gubernur Jenderal dan beberapa pejabat penting kemudian memutuskan untuk tinggal di tempat lain, yaitu di Villa Mei Ling. Letnan Jenderal Imamura dan pasukannya mendarat di Jawa pada tanggal 1 Maret 1942 di tiga lokasi. Pendaratan di Teluk Banten dipimpin oleh Jenderal Imamura. Pendaratan di Eretan,Wetan dipimpin oleh Kolonel Tonishori. Pendaratan di Kragan, Rembang, Jawa Tengah dipimpin oleh Mayjen Tsuchihashi.
Belanda tidak mencurigai tempat-tempat tersebut sebagai tempat pendaratan tentara Jepang. Jepang tidak menyerang Batavia karena Belanda telah mempersiapkan Batavia sebagai kota terbuka. Satu kompi Kadet dari Akademi Militer Kerajaan dan Korps Pendidikan Perwira Cadangan di Jawa Barat. Empat batalyon infanteri disiapkan di Jawa Tengah. Terdapat tiga batalyon pasukan pembantu Indonesia dan satu batalion marinir di Jawa Timur. Ditambah satuan-satuan dari Inggris dan Amerika.
Namun kekuatan ABDACOM tidak mampu menyelamatkan Hindia Belanda dari kekalahan. Pasukan Jepang mendarat secara massal di Pulau Jawa dan dengan cepat menembus pusat kekuatan militer Belanda di Pulau Jawa dan mampu merebutnya tanpa perlawanan. Pada tanggal 5 Maret 1942, Batavia jatuh ke tangan Jepang. Tentara Jepang terus bergerak ke selatan dan menguasai kota Buitenzorg (Bogor). Kota-kota lain di Jawa juga jatuh ke tangan Jepang. Hingga akhirnya pada 8 Maret 1942, Gubernur Jenderal Tjarda memerintahkan pasukan Belanda dan Sekutu untuk menghentikan tembakan dalam siaran radio keesokan harinya dan pasukan Sekutu menyerah pada pukul 1 siang.
Akhirnya militer Hindia Belanda menyerah tanpa syarat kepada Kekaisaran Jepang pada 8 Maret 1942 di Kalijati, Subang, Jawa Barat yang ditandatangani oleh Letnan Jenderal Hein ter Poorten selaku perwakilan Belanda dan Letnan Jenderal Imamura selaku perwakilan dari Kekaisaran Jepang. Pemerintahan Hindia Belanda dan sekutunya melarikan diri ke Australia dan membentuk pemerintahan darurat disana dengan Wakil Gubernur Jenderal Hubertus Johannes van Mook. Setelah pasukan Kekaisaran Jepang menduduki Hindia Belanda, penguasa Belanda sebenarnya tidak mempunyai wewenang untuk menjalankan kekuasaannya sejak saat itu.
Sejak saat itu Indonesia diduduki oleh Jepang.
B. Sikap rakyat Indonesia terhadap kedatangan Jepang
Kedatangan Jepang di Indonesia pada tahun 1942 pada awalnya disambut baik oleh masyarakat Indonesia. Hal tersebut dikarenakan:
1. Penderitaan rakyat Indonesia akibat imperialisme Belanda.
2. Terdapat slogan Tiga A: Nippon Cahaya Asia, Nippon Pelingdung Asia, Nippon Pemimpin Asia.
3. Penduduk pribumi diangkat menjadi pegawai pemerintah.
4. Tokoh-tokoh nasional seperti Soekarno, Hatta, dan Sjahrir yang sebelumnya diasingkan Belanda dibebaskan Jepang.
5. Jepang mengizinkan mengibarkan Bendera merah putih di samping bendera Hinomaru Jepang dan Radio Tokyo memutar lagu "Indonesia Raya" selain lagu kebangsaan Jepang "Kimigayo".
6. Memperbolehkan penggunaan bahasa Indonesia dalam urusan resmi dan tidak resmi serta melarang penggunaan bahasa Belanda.
7. Orang Jawa percaya pada ramalan Jayabaya akan datangnya Jepang.
Bunyi ramalan Jayabaya tentang Jepang sebagai berikut:
"Pulau Jawa kelak akan diperintah bangsa kulit putih (Belanda), kemudian dari arah utara akan datang bangsa Katai, kulit kuning bermata sipit. Pemerintahan dari bangsa kulit kuning tidak lama, hanya seumur jagung. Dan sesudah itu Jawa akan merdeka."
Jepang juga Menekankan kepada rakyat Indonesia bahwa Jepang adalah saudara tertua Indonesia, sehingga kedudukan Indonesia dan Jepang sama. Sebagai saudara tua Indonesia, Jepang dipandang dapat membebaskan Indonesia dari kekuasaan Belanda. Jepang juga akan memajukan rakyat Indonesia. Demi merebut simpati masyarakat Indonesia, Jepang pun berusaha menggalang dukungan dari para pemimpin nasionalis dan Islam. Soekarno dan Hatta diberi posisi dalam pemerintahan militer.
⚫ Film propaganda Jepang
Pada masa penjajahan Jepang, Jepang mendirikan rumah produksi di Indonesia bernama Nippon Eiga Sha. Nippon Eiga Sha didirikan pada bulan April 1943. Rumah produksi ini sebenarnya dibuat dengan tujuan untuk menyebarkan propaganda Jepang di masyarakat Indonesia saat itu. Indonesia memihak Kekaisaran Jepang agar Jepang leluasa menjajah berbagai wilayah di Indonesia. Para selebritis besar Tanah Air pada masa pra proklamasi juga memerankan beberapa film tersebut. Di bawah ini enam film propaganda Jepang lawas yang beredar di Indonesia saat itu.
1. Berdjoeang (Hope of the South), 1943.
Berdjoeang merupakan film yang diproduksi oleh Nippon Eiga Sha dan kabarnya disutradarai oleh Kurata Bunji dan asisten sutradara Rd. Ariffien. Film ini dibintangi oleh Mohammad Mochtar, Sambas, Dhalia, Kartolo dan Chatir Harro.
Berdjoeang adalah film propaganda tentang penduduk desa di Hindia Belanda yang menghubungi penguasa militer Jepang untuk membantu memperoleh kemerdekaan melawan Belanda dengan bergabung dalam satuan tugas bentukan Jepang. Tujuan utama film ini adalah untuk menarik sebanyak mungkin masyarakat Indonesia agar bergabung dengan pasukan Jepang melawan Belanda.
2. Koeli & Romusha, 1945
Koeli & Romusha merupakan film propaganda tentang penderitaan Hindia Belanda yang dijadikan tempat kerja paksa pada masa penjajahan Belanda. Situasi ini kemudian dibandingkan dengan para pekerja Romusha yang digambarkan dengan baik dan diperlakukan dengan baik oleh Jepang.
3. Nankai No Hanataba (Bunga dari Selatan), 1942
Nankai No Hanataba dirilis pada 21 Mei 1942 dan disutradarai oleh Yutaka Abe. Film ini berkisah tentang Jiro Horikoshi, seorang Perakit pesawat Jepang yang berperang melawan Sekutu pada Perang Dunia II. Film ini juga bercerita tentang pertempuran para pilot angkatan udara Jepang yang berjuang mengusir pasukan Sekutu di Asia Tenggara.
4. Shogun to Sanbo to Hei (Jendral dan Prajurit), 1942.
Film Shogun to Sanbo to Hei merupakan film nasional Jepang yang dirilis pada tahun 1942. Film ini berkisah tentang perang antara Jepang dan Tiongkok pada tahun 1941 yang terjadi di provinsi Shanxi, Tiongkok. Film ini berkisah tentang pertempuran tentara Jepang dan didasarkan pada novel berjudul sama karya Tomoshin Ichi.
5. Singapore Soko Geki (Serangan atas Singapura).
Singapore Soko Geki adalah film propaganda yang menggambarkan kekuatan dan ukuran tentara Jepang pada saat itu. Film ini merupakan film dokumenter tentang penyerangan tentara Jepang terhadap pasukan Inggris di Malaya dan Singapura. Film ini dirilis sekitar awal tahun 1940an.
6. Eikoku Koezoeroeroe no Hi (Saat Inggris Runtuh).
Eikoku Koezoeroeroe no Hi juga menggambarkan kemampuan tentara Jepang dalam melawan kekuasaan Inggris. Dan dengan bergabungnya tentara Jepang, bangsa Indonesia mampu mengusir penjajah dari wilayahnya.
Beberapa film Jepang yang diputar di Indonesia antara tahun 1942 hingga 1945 mempunyai cerita yang menarik dan berhasil menarik simpati masyarakat Indonesia terhadap Kekaisaran Jepang saat itu. Hal ini memudahkan penjajahan Jepang di Indonesia pada saat itu.
C. Kebijakan Pemerintah Pendudukan Jepang
Pada masa pendudukan Indonesia, Jepang membagi Indonesia menjadi tiga wilayah administratif militer, yaitu:
1. Pemerintahan Angkatan Darat (Tentara XXV) untuk Sumatra, dengan pusat di Bukittinggi.
2. Pemerintahan Angkatan Darat (Tentara XVI) untuk Jawa dan Madura dengan pusat di Jakarta.
3. Pemerintahan Angkatan Laut (Armada Selatan II) untuk daerah Sulawesi, Kalimantan, dan Maluku dengan pusat di Makassar.
Kemudahan yang ditawarkan Jepang tak lebih dari janji manis. Jepang sebagai penjajah sebenarnya lebih kejam dalam menjajah bangsa Indonesia. Jepang mengambil beberapa tindakan terhadap koloninya di Indonesia. Rencana Jepang yang paling mendesak adalah memobilisasi seluruh sumber daya yang ada di Indonesia untuk tujuan perang. Kebijakan-kebijakan tersebut meliputi:
1. Membentuk organisasi-organisasi sosial
Salah satu tujuan dibentuknya organisasi itu adalah agar Jepang dapat memenangkan Perang Asia Timur Raya melawan Barat. Organisasi-organisasi tersebut antara lain:
a. Gerakan 3A
Gerakan Tiga A didirikan pada tanggal 29 April 1942, bertepatan dengan hari libur nasional Jepang yaitu hari ulang tahun Kaisar Hirohito. gerakan 3A mempunyai tiga semboyan yakni Nippon Pelindung Asia, Nippon Pemimpin Asia, dan Nippon Cahaya Asia. Tujuan dibentuknya Gerakan 3A adalah untuk membantu Jepang dalam upaya militer melawan sekutu pada Perang Dunia II.
Gerakan ini mencakup sektor pendidikan. Karena pendidikan dapat mencapai tujuan yang mempengaruhi banyak generasi muda. Sekolah ini beroperasi sesuai dengan sistem pendidikan Jepang, yaitu kursus intensif enam bulan untuk anak usia 14-18 tahun. Sayangnya gerakan 3A berakhir pada akhir tahun 1942 karena tidak ada hasil dalam perjuangan mewujudkan cita-cita kemerdekaan.
b. Putera (Pusat Tenaga Kerja Rakyat)
Untuk menggantikan gerakan 3A, Jepang membentuk Pusat Tenaga Rakyat atau Putera. Organisasi ini dipimpin oleh tokoh nasional. Tokoh nasional yang sering disebut keempatnya adalah Soekarno, Mohammad Hatta, KH Mas Mansyur, dan Ki Hajar Dewantara.
Tujuan didirikannya Putera pada tanggal 16 April 1943 adalah untuk membangun kembali dan menghidupkan kembali apa yang telah dihancurkan oleh Belanda. Putera bertugas membantu Jepang pada masa perang dan memaksimalkan potensi masyarakatnya untuk meningkatkan sektor sosial ekonomi.
Menariknya, gerakan ini mampu mempersiapkan semangat masyarakat menyambut kemerdekaan dua tahun kemudian. Jepang menyadari bahwa Putera lebih bermanfaat bagi Indonesia dibandingkan Jepang. Akibatnya, Jepang membubarkan Putera pada tahun 1944.
c. Jawa Hokokai
Jawa Hokokai (Himpunan Kebaktian Jawa) merupakan organisasi sosial kemasyarakatan yang didirikan pada tanggal 8 Januari 1944. Pada awal berdirinya, organisasi ini dimaksudkan sebagai wadah masyarakat Indonesia untuk mendukung Jepang.
Untuk melawan perang Jepang, masyarakat diharapkan mengorbankan diri, memperkuat ikatan persaudaraan, dan mengambil tindakan. Berbeda dengan Putera yang diusung oleh tokoh-tokoh pergerakan nasional, Jawa Hokokai diusung oleh organisasi resmi pemerintah.
Program-program Jawa Hokokai, yakni:
- Melaksanakan segala tindakan nyata dengan ikhlas demi pemerintah Jepang.
- Memimpin rakyat untuk mengembangkan tenaganya.
- Memperkokoh pembelaan tanah air.
d. MIAI
Jepang menghidupkan kembali organisasi massa Islam MIAI yang didirikan di Surabaya pada tahun 1937 oleh KH Mas Mansur dan rekan-rekannya. Pada bulan Mei 1942, Kolonel Horie meminta para pemuka Islam untuk tidak berpartisipasi dalam kegiatan politik.
Sebaliknya, Jepang memerintahkan para pemuka agama Islam dan umat Islam untuk mengabdikan diri mereka pada kegiatan keagamaan dan komunitas melalui organisasi. MIAI bertujuan agar ormas-ormas Islam yang bernaung di bawahnya bisa memobilisasi umat untuk keperluan perang.
Pada tahun 1943, MIAI menerbitkan majalahnya Soeara MIAI. Hal ini menyebabkan organisasi ini mendapat simpati yang luar biasa dari umat Islam. Melihat hal tersebut, Jepang menjadi mewaspadai perkembangan MIAI. Dana yang terkumpul dibagikan kepada rakyat, bukan ke Jepang. Akibat kondisi tersebut, Jepang membubarkan MIAI pada bulan November 1943 dan menggantinya dengan Majelis Syuro Muslim Indonesia (Masyumi).
e. Masyumi
Masyumi didirikan pada bulan November 1943. Organisasi ini berkembang sangat pesat karena setiap karisidennya mempunyai kantor cabang. Masyum menjadi wadah bertukar pikiran antar tokoh umat Islam dan menjadi wadah masyarakat menyuarakan keluh kesahnya.
Masyumi juga berani menolak budaya Jepang yang tidak sesuai ajaran Islam, seperti seikerei yakni membungkukkan badan sebesar 90°. Ayah Buya Hamka, Abdul Karim Amrullah, menolak karena umat Islam hanya melakukan posisi tersebut saat shalat dengan rukuk dan menghadap kiblat.
2. Membentuk organisasi militer dan semi-militer
Jepang sadar tentang pentingnya mengerahkan rakyat Indonesia untuk menghadapi sekutu. Jepang mendirikan beberapa organisasi militer dan semi militer untuk menghadapi perang Asia Timur Raya. Berikut penjelasannya.
a. Heiho
Heiho merupakan satuan pembantu militer yang terdiri dari prajurit-prajurit asal Indonesia yang dikirim langsung untuk upaya perang Jepang. Tujuan didirikannya Heiho adalah untuk membantu Jepang dengan membangun pertahanan, menjaga ketertiban umum dan ikut serta dalam medan perang Jepang.
Pasukan Heiho adalah prajurit berusia 18-25 tahun mempunyai badan yang sehat, berperilaku baik, dan pendidikan minimal setara sekolah dasar. Tak heran jika organisasi ini lebih terlatih dibandingkan organisasi militer dan semi-militer lain yang dibentuk Jepang.
Heiho sendiri bertugas sebagai prajurit di Angkatan Laut, Angkatan Darat, dan Kempetai (polisi). Pada Waktu itu, jumlah Heiho bentukan Jepang diperkirakan mencapai 42.000 orang. Setelah Indonesia mendeklarasikan kemerdekaan pada tahun 1945, Heiho dibubarkan dan digabungkan dengan BKR.
b. PETA
PETA (Pembela Tanah Air) adalah pasukan militer yang didirikan oleh Jepang pada tanggal 3 Oktober 1943 berdasarkan informasi dari Osamu Seirei No.44. Letnan Jenderal Kumakichi Harada, Panglima Angkatan Darat ke-16 Jepang, menyebut PETA sebagai tentara sukarelawan.
Tujuan didirikannya PETA adalah sebagai kelompok gerilya untuk membantu Jepang jika terjadi serangan dan menjadi pasukan keamanan yang bertugas melindungi tanah air. Prajurit PETA dilatih di kompleks militer Bogor yang dikenal dengan Jawa Bo-ei Giyugun Kanbu Resentai.
Peta membuka jabatan kepangkatan bagi rakyat pribumi yaitu Daidanco (komandan batalyon), Cudanco (komandan kompi), Shodanco (komandan peleton), Bundanco (komandan regu), dan Giyuhei (prajurit sukarela).
c. Seinendan
Seinendan adalah organisasi semi-militer yang didirikan oleh Jepang yang bertujuan untuk mendidik dan melatih generasi muda untuk menjadi personel cadangan sebanyak-banyaknya. Anggota Seinendan awalnya terdiri dari generasi muda berusia 15-25 tahun. Namun ketika perang Asia Timur Raya mencapai puncaknya, persyaratan tersebut diubah menjadi usia 14-22 tahun. Hal ini juga menyebabkan bertambahnya jumlah Seinendan dari 3.500 orang menjadi 500.000 orang pada akhir pendudukan Jepang.
d. Keibodan
Keibodan adalah pasukan paramiliter Jepang yang berada di bawah pengawasan langsung Polisi Jepang. Pasukan Keibodan yang bertugas sebagai pembantu kepolisian terdiri dari para pemuda berusia 23-25 tahun yang syarat utamanya adalah sehat jasmani dan berkepribadian baik.
Anggota Keibodan dilatih selama sebulan di Kepolisian Sukabumi. Pembentukan Keibodan atau pasukan pengawal terjadi bersamaan dengan Seinendan pada tahun 1943. Di beberapa daerah, pasukan ini memiliki beberapa nama lain, misalnya dikenal dengan nama Bogodan di Sumatera dan Konan Hokokudan di Kalimantan.
d. Fujinkai
Fujinkai adalah korps pelatihan militer Jepang untuk wanita. Tugas Fujinkai dalam perang adalah berada di garis belakang membantu dan merawat korban perang. Anggota perempuan Fujinkai yang berusia di atas 15 tahun juga ditugaskan untuk menanam pohon jarak jarak yang minyaknya diambil.
e. Suishintai
Suishintai atau Barisan Pelopor adalah organisasi semi-militer pertama di Jepang yang dipimpin langsung oleh seorang nasionalis Indonesia. Barisan Pelopor didirikan pada tanggal 1 November 1944 sebagai hasil sidang ketiga Chuo Sangi In (Dewan Pertimbangan Pusat).Jepang kemudian menunjuk Soekarno dan para wakilnya Raden Pandji Soeroso, Otto Iskandar Dinata dan Dr. Buntara Martoatmodjo sebagai pimpinan barisan pelopor.
Barisan pelopor juga tergabung dalam organisasi Jawa Hokokai yang anggotanya seluruhnya adalah generasi muda, baik yang terpelajar maupun yang tidak terpelajar. Tujuan dari keanggotaan Barisan Pelopor yang heterogen adalah untuk menumbuhkan semangat solidaritas guna menciptakan ikatan emosional dan semangat kebangsaan yang tinggi.
Para pemuda Barisan Pelopor juga dilatih dengan latihan militer hanya dengan menggunakan alat yang sederhana seperti senapan kayu dan bambu runcing. Setelah Indonesia merdeka, tepatnya pada tanggal 16 Desember 1945, organisasi ini berganti nama menjadi Barisan Banteng Republik Indonesia (BBRI).
f. Laskar Hizbullah
Laskar Hizbullah atau Tentara Hizbullah Indonesia merupakan kelompok milisi yang beranggotakan para , santri, dan pemuda Islam. Terbentuknya Laskar Hizbullah diawali dengan pertemuan KH Mas Mansyur, KH Adnan, Abdul Karim Amrullah, KH Mansur, KH Mochtar, KH Chalid, KH Abdul Madjid, KH Jacub, KH Djunaedi, dan KH Sodri pada 13 September 1943 untuk membentuk barisan guna menghalau serangan Sekutu. Laskar Hizbullah resmi dibentuk oleh Jepang pada tanggal 8 Desember 1944 sebagai pasukan cadangan PETA (Pembela Tanah Air). Laskar Hizbullah dipimpin KH Zainul Arifin, wakilnya Muhammad Roem, ketua diklat KH Mas Mansyur, dan wakil ketua diklat Prawoto Mangkusasmito.
3. Romusha
(sumber gambar: https://fahum.umsu.ac.id/romusha-pengertian-tujuan-dan-dampaknya/)
Pada bulan Juni 1942, Jepang sedikit demi sedikit mulai kehilangan kendali atas Pasifik. Para pemimpin militer Jepang melihat situasi militer di kawasan Asia-Pasifik tidak lagi menguntungkan mereka.
Selain itu, isolasi dari perdagangan internasional mengurangi pasokan pangan Jepang dan koloninya. Untuk melanjutkan perang dan mengamankan logistik, Jepang mengerahkan romusha. Tujuan romusha adalah melakukan pekerjaan konstruksi berat baik dalam proyek militer maupun pekerjaan umum. Pekerjaan harus dilakukan di garis depan untuk mendukung tentara Jepang melawan Sekutu.
Pekerjaan yang harus dilakukan para pekerja romusha adalah:
*) Membangun pusat pertahanan seperti benteng.
*) Membuat terowongan bawah tanah di daerah perbukitan.
*) Membuat parit pertahanan
*) Membangun lapangan terbang
*) Membangun bangunan militer di garis depan.
*) Membangun jalan raya.
*) Membangun rel kereta api.
*) Membangun jembatan.
Romusha berlangsung selama tiga tahun pada masa pendudukan Jepang di Indonesia, yaitu pada tahun 1942 hingga tahun 1945. Sejak Februari 1942, Komite investigasi Jepang berupaya menjadikan Jawa sebagai sumber tenaga kerja utama.
Selain letaknya yang strategis, jumlah penduduk Pulau Jawa pada masa itu relatif besar, yaitu. sekitar 70 juta orang. Cara Jepang merekrut pekerja romusha pada awalnya tidak terlihat dipaksakan.
Awalnya, pekerja romusha bersifat sukarela dan melibatkan para pengangguran yang mendaftar untuk menerima upah. Kebanyakan romusha bekerja di tempat mereka tinggal atau di negara asal mereka. Contoh romusha yakni Yogyakarta yang dikirim ke Jakarta sebagai pekerja romusha di Pelabuhan Tanjung Priok.
Dalam perkembangannya, romusha yang semula bersifat sukarela menjadi perbudakan. Selain tugas kepala desa untuk memerintahkan warganya sendiri untuk direkrut, tentara Jepang juga mengambil tindakan dengan mendatangkan orang-orang yang mereka temukan untuk dijadikan pekerja romusha.
Para rekrutan diberitahu bahwa mereka hanya bekerja selama beberapa bulan, padahal sebenarnya mereka telah diperbudak selama bertahun-tahun. Pekerja romusha tidak lagi hanya dipekerjakan di daerah setempat saja, melainkan dikirim ke luar negeri seperti Singapura, Malaysia, Thailand dan Myanmar.
Selain kerja keras dan upah rendah, romusha harus menghadapi kekurangan pangan dan fasilitas kesehatan yang buruk. Belum lagi tentara Jepang yang menjaga akan menyiksa mereka jika pekerjaannya tidak maksimal. Karena perlakuan tidak manusiawi ini, sistem romusha merenggut banyak nyawa.
4. Eksploitasi SDA Indonesia oleh Jepang
Eksploitasi sumber daya alam Indonesia yang dilakukan Jepang jauh lebih brutal dibandingkan eksploitasi tenaga kerja Belanda. Diketahui, Jepang menyita seluruh aset Belanda dan mengawasi langsung seluruh operasionalnya. Selain itu Jepang juga menggunakan jasa jawa Hokokai dan instansi pemerintah lainnya.
Hal ini akan membuat Indonesia semakin sengsara. Saat panen, masyarakat wajib menyetorkan padi dan hanya tersisa 20% padi untuk dibawa pulang. Hal tersebut mengakibatkan musibah kelaparan dan penyakit busung lapar di Indonesia. Kondisi ini membuat banyak rakyat Indonesia yang memakan umbi-umbian liar yang sebenarnya layak untuk makanan ternak.
Sikap manis Jepang hanya sementara. Pada tanggal 20 Maret 1942 dikeluarkan perintah pemerintah yang memuat larangan membahas pengibaran bendera dan menyanyikan lagu Indonesia Raya. Hal itu pasti mengecewakan bagi masyarakat Indonesia.
D. Sikap kaum pergerakan
Sikap kaum pergerakan terhadap pendudukan Jepang tentu saja melakukan perlawanan dalam berbagai cara, antara lain:
1. Memanfaatkan organisasi bentukan Jepang
Putera kerap disebut kaki tangan karena ingin bekerja sama dengan Jepang. Cara ini merupakan salah satu bentuk perjuangan diplomatik. Tokoh-tokohnya adalah para pemimpin Putera seperti Soekarno, Mohammad Hatta, Ki Hajar Dewantara dan K.H. Mas Mansur.
Mereka diketahui memanfaatkan organisasi Putera yang didirikan di Jepang untuk berkomunikasi dengan rakyat. Seiring berjalannya waktu, pemerintah Jepang menyadari hal tersebut dan kemudian membubarkan Putera dan menggantinya dengan Barisan Pelopor. Sama seperti Putera, barisan pelopor yang dipimpin oleh Soekarno selalu mengkampanyekan perjuangan kemerdekaan, Ki Hajar Dewantara dan K.H. Mas Mansur.
2. Melakukan gerakan bawah tanah
Larangan membentuk partai selama Jepang tokoh perjuangan melakukan gerakan bawah tanah. menyebabkan beberapa. Gerakan bawah tanah merupakan perjuangan dengan tindakan tidak resmi dan tanpa sepengetahuan Jepang.
Berbagai pertemuan terus mereka lakukan pada masa perjuangan kemerdekaan Indonesia. Tokoh-tokoh tersebut adalah:
- Kelompok Sutan Syahrir di wilayah Jakarta dan Jawa Barat menyamar sebagai pedagang nanas di Sindanglaya.
- Kelompok Soekarni, Adam Malik Batubara dan Pandu Wiguna. Mereka berhasil menyusup ke markas propaganda Jepang Sendenbu (sekarang kantor berita Antara) sebagai pegawai.
- Kelompok Teuku Mohammad Syarif Thayeb, Eri Sudewo dan Chairul Saleh. Mereka adalah sekelompok pelajar dan mahasiswa.
- Kelompok Raden Achmad Subardjo Djojoadisoerjo, Raden Soediro Hardjodisastro dan Wikana. Mereka adalah kelompok gerakan Kaigun (AL) di Jepang.
Para tokoh tersebut terus memantau Perang Pasifik melalui radio bawah tanah ketika Jepang melarang mesin komunikasi. Kelompok bawah tanah ini sering disebut kelompok radikal karena tidak mau berkompromi dengan Jepang.
3. Melakukan perlawanan terhadap pendudukan Jepang
Selain itu, bangsa Indonesia terlibat dalam berbagai kegiatan perlawanan bersenjata pada masa pendudukan Jepang. Berikut merupakan perlawanan yang dilakukan oleh bangsa Indonesia.
a.) Perlawanan rakyat Aceh
Pemberontakan tersebut dipimpin oleh seorang ulama muda bernama Tengku Abdul Jalil, seorang guru mengaji di Cot Plieng, Lhokseumawe pada 10 November 1942. Perlawanan tersebut terjadi karena beliau menentang peraturan-peraturan Jepang. Jepang melakukan membujuk ulama tersebut, namun gagal. Upaya Jepang untuk membujuk ulama tersebut gagal, sehingga Jepang melancarkan serangan mendadak di pagi hari saat orang-orang sedang salat subuh.
Dengan senjata sederhana, rakyat Aceh berusaha menahan serangan tersebut dan mampu memukul mundur pasukan Jepang hingga ke Lhokseumawe. Rakyat Aceh juga mencegah serangan lain. Baru pada serangan terakhir Jepang berhasil membakar masjid, sedangkan Teuku Abdul Jalil berhasil lolos dari kejaran musuh, namun kemudian tertembak saat sedang sholat.
b.) Perlawanan rakyat Singaparna
Perlawanan fisik ini terjadi di Pondok Pesantren Sukamanah, Singaparna,Tasikmalaya, Jawa Barat di bawah pimpinan KH. Zainal Mustafa, pada tahun 1943. Beliau menolak keras ajaran Jepang, khususnya kewajiban melakukan Seikerei setiap pagi, yaitu untuk menghormati kaisar Jepang dengan membungkuk pada matahari terbit.
Kewajiban Seikerei ini jelas menyinggung perasaan umat Islam Indonesia karena hal tersebut merupakan perbuatan syirik yakni menyekutukan Allah. Apalagi, beliau tak tega melihat penderitaan masyarakat akibat tanam paksa. Saat utusan Jepang hendak menangkapnya, KH. Zainal Mustafa membekali para santri dengan ilmu silatnya untuk mengepung dan menyerang tentara Jepang yang kemudian mundur ke Tasikmalaya.
Jepang memutuskan untuk menggunakan kekerasan untuk mencoba mengakhiri pembangkangan ulama tersebut. Pada tanggal 25 Februari 1944, setelah salat Jumat, terjadi pertempuran sengit antara rakyat dengan pasukan Jepang. Meski berbagai perlawanan dilakukan, KH. Zainal Mustafa pun berhasil ditangkap dan dibawa ke Tasikmalaya lalu dibawa ke Jakarta untuk dieksekusi dan dimakamkan di Ancol. Atas jasa-jasanya KH Zainal Mustafa diangkat menjadi Pahlawan Pergerakan Nasional pada tanggal 6 Nopember 1972, dengan Surat Keputusan Presiden Republik Indonesia No. 064/TK/Tahun 1972.
c. Perlawanan Indramayu
Peristiwa Indramayu terjadi pada bulan April 1944 dengan adanya perintah untuk menyetorkan sebagian hasil panen padi dan adanya kerja paksa yang membawa penderitaan panjang bagi masyarakat. Pemberontakan ini dipimpin oleh Haji Madriyas dan kawan-kawan di desa Karang Ampel, Sindang, kabupaten Indramayu. Haji menolak pemungutan pajak sangat tinggi.
Pasukan Jepang sengaja melakukan tindakan brutal terhadap masyarakat dari kedua wilayah (Lohbener dan Sindang) untuk mencegah daerah lain ikut memberontak setelah mendengar kekejaman yang dilakukan pada setiap pemberontakan. Akhirnya perlawanan tersebut dapat dipadamkan oleh Jepang.
d. Pemberontakan PETA
1.) Pemberontakan PETA di Blitar, Jawa Timur.
Perlawanan ini dipimpin oleh Shodanco Supriyadi, Shodanco Muradi dan Dr. Ismail. Penentangan ini disebabkan oleh masalah pengumpulan padi, romusha dan Heiho diperlakukan dengan kasar dan di luar batas kemanusiaan. Para pejuang sebagai putera rakyat tidak bisa melihat penderitaan rakyat. Selain itu, sikap para pelatih militer Jepang terhadap prajurit Indonesia yang arogan dan merendahkan.
Perlawanan PETA di Blitar merupakan perlawanan terbesar di Pulau Jawa. Namun dengan tipu muslihat Jepang, Kolonel Katagiri berhasil menipu pasukan PETA dengan berpura-pura diundang untuk berunding. Empat perwira PETA dijatuhi hukuman mati dan tiga lainnya disiksa hingga mati. Shodanco Supriyadi belum diketahui keberadaannya hingga akhirnya dilaporkan hilang.
2.) Perlawanan PETA di Meureudu,Pidie, Aceh.
Perlawanan ini dilatarbelakangi oleh sikap arogan dan kejam Jepang terhadap rakyat pada umumnya dan prajurit Indonesia pada khususnya. Perlawanan ini dipimpin oleh Perwira Gyugun Teuku Hamid. Teuku Hamid adalah perwira Giyugun, beliau dan prajuritnya yang melarikan diri ke hutan untuk melawan. Perlawanan ini terjadi pada bulan November 1944.
Dalam keadaan seperti ini, pemerintah Jepang mengancam akan membunuh keluarga pemberontak jika mereka tidak menyerah. Keadaan tersebut memaksa sebagian pasukan pemberontak untuk menyerah, sehingga akhirnya berhasil ditumpas. Perlawanan rakyat juga dilakukan di daerah lain di Aceh seperti di kecamatan Berenaih yang dipimpin oleh kepala desa dan bantuan regu Giyugun, namun semuanya berakhir pada keadaan yang sama yaitu berhasil ditumpas oleh kekuatan militer Jepang dengan sangat kejam.
3.) Perlawanan PETA di Gumilir, Cilacap
Perlawanan ini dipimpin oleh seorang Bundanco bernama Kusaeri dan rekan-rekannya. Perlawanan yang seharusnya dimulai pada tanggal 21 April 1945 menjadi diketahui Jepang, sehingga Kusaeri ditangkap pada tanggal 25 April 1945. Kusaeri dijatuhi hukuman mati, namun tidak terlaksana karena Jepang mendapat tekanan dari Sekutu.
e. Perlawanan Pang Suma
Perlawanan rakyat yang dipimpin oleh Pang Suma pecah di Kalimantan Barat. Pang Suma merupakan pemimpin suku Dayak yang mempunyai pengaruh besar di kalangan suku-suku di wilayah Tayan dan Meliau. Perlawanan ini bersifat gerilya untuk mengganggu aktivitas Jepang di Kalimantan.
Momentum perlawanan Pang Suma bermula ketika seorang pekerja Dayak dipukul oleh mandor Jepang, salah satu dari sekitar 130 pekerja di sebuah perusahaan kayu Jepang. Peristiwa ini memicu perlawanan yang berpuncak pada serangan balasan Dayak yang dikenal dengan Perang Desa Majang pada bulan April hingga Agustus 1944 di wilayah administratif Tayan, Meliau, Batang Tarang, Kabupaten Sanggau. Jepang membunuh sekitar 600 pejuang kemerdekaan termasuk Pang Suma.
E. Pengaruh pendudukan Jepang di Indonesia
Pendudukan Jepang di Indonesia merupakan masa penting dalam sejarah perjalanan bangsa Indonesia. Pada masa ini bangsa Indonesia merasakan dampak positif dan negatif dari kebijakan yang diterapkan pemerintah pendudukan Jepang. Berikut pembahasannya.
1. Politik
Pengaruh pendudukan Jepang di bidang politik terhadap Indonesia dapat dilihat dari dua sisi, yaitu negatif dan positif. Sisi negatifnya, Jepang menggunakan sejumlah besar sumber daya alam dan sumber daya manusia di Indonesia untuk mendapatkan keuntungan militer.
Jepang mengambil alih perkebunan yang dikuasai Belanda dan mengubahnya menjadi ladang produksi barang-barang perang seperti gula, minyak jarak, karet, teh, dan kina. Jepang juga memonopoli perdagangan luar negeri dengan memberlakukan nilai tukar yang sangat merugikan Indonesia
Selain itu, Jepang memaksa warga Indonesia untuk membangun proyek infrastruktur militer seperti jalan, jembatan, bandara, pelabuhan, dan benteng pertahanan. Akibat eksploitasi tersebut, masyarakat Indonesia mengalami kemiskinan, kelaparan, penyakit, kematian dan kesengsaraan.
Sedangkan sisi positifnya Jepang mendorong pengembangan industri lokal di Indonesia. Hal ini terjadi karena Jepang kesulitan menerima barang impor akibat blokade Sekutu. Oleh karena itu, Jepang mendorong bangsa Indonesia untuk memproduksi barang-barang yang dibutuhkan dalam perang, seperti pakaian, sepatu, obat-obatan, bahan peledak, dan senjata.
Jepang juga mendirikan beberapa pabrik baru di Indonesia, seperti pabrik baja di Cilegon, pabrik pesawat terbang di Bandung, dan pabrik amunisi di Malang. Melalui kegiatan industri ini, masyarakat Indonesia dapat memperoleh keterampilan dan pengetahuan baru di bidang teknologi dan manufaktur.
2. Sosial
Dalam bidang sosial, pendudukan Jepang di Indonesia memiliki pengaruh negatif yakni Jepang telah melakukan berbagai tindakan kekerasan dan pelanggaran HAM terhadap masyarakat Indonesia. Jepang mengeksekusi atau menahan banyak orang yang dicurigai sebagai mata-mata atau pejuang kemerdekaan.
Jepang juga memperlakukan rakyat Indonesia secara tidak manusiawi dengan cara menyiksa, memukul, mengejek dan mempermalukan mereka. Jepang juga memperbudak banyak perempuan Indonesia sebagai jugun ianfu, atau wanita penghibur, untuk memenuhi kebutuhan seksual tentara Jepang. Akibat kekerasan tersebut, masyarakat Indonesia mengalami trauma emosional dan fisik yang mendalam.
Jepang menawarkan kesempatan bagi masyarakat Indonesia untuk meningkatkan pendidikan dan kesehatannya. Jepang membuka sekolah-sekolah baru di berbagai tingkatan mulai dari pendidikan dasar hingga pendidikan tinggi. Jepang juga mengajarkan bahasa dan budaya Jepang kepada masyarakat Indonesia dengan harapan dapat terciptanya kesetiaan dan persaudaraan antar kedua bangsa.
3. Budaya
Jepang membatasi dan menghilangkan budaya barat yang sebelumnya berkembang di Indonesia. Jepang melarang penggunaan bahasa Belanda dan bahasa asing lainnya di Indonesia. Jepang juga melarang penggunaan pakaian, musik, film, dan seni Barat di Indonesia.
Jepang juga melarang praktik agama Kristen dan agama Barat lainnya di Indonesia. Jepang juga melarang penggunaan nama Barat bagi orang Indonesia. Tujuan pembatasan tersebut adalah untuk menghilangkan pengaruh Barat yang dianggap musuh Jepang.
Namun, Jepang memberi dorongan bagi berkembangnya budaya lokal di Indonesia. Hal itu dilakukan karena Jepang mengapresiasi budaya Asia yang memiliki kemiripan dengan budaya Jepang. Jepang mendukung penggunaan bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional dan bahasa pengantar pendidikan di Indonesia.
Jepang juga mendukung pengembangan sastra, seni, musik, tari, dan teater lokal di Indonesia. Jepang juga mendukung berkembangnya agama lokal seperti Islam, Hindu, Budha, dan Kejawen di Indonesia. Jepang juga mendukung pengembangan nama tempat di Indonesia. Dorongan ini bertujuan untuk menciptakan identitas nasional yang kuat bagi masyarakat Indonesia.
4. Militer
Jepang menjadikan Indonesia sebagai pangkalan militer untuk memulai perang melawan sekutu. Jepang telah membangun banyak fasilitas militer di Indonesia, seperti pangkalan udara, pangkalan angkatan laut, gudang senjata, dan bunker pertahanan.
Jepang juga banyak merekrut tentara dan relawan dari masyarakat Indonesia untuk membantu upaya perang Jepang. Jepang juga ikut serta dalam perjuangan bangsa Indonesia melawan sekutu baik di dalam maupun luar negeri. Akibat keterlibatan militer tersebut, banyak korban jiwa dan kerugian materil yang diderita bangsa Indonesia akibat perang tersebut.
Meskipun demikian, Jepang memberikan pelatihan dan persenjataan kepada masyarakat Indonesia yang menjadi tentara dan sukarelawan. Jepang juga mengakui dan memberikan penghargaan kepada orang-orang Indonesia yang turut serta dalam perang tersebut. Jepang juga memberikan dukungan dan bantuan kepada masyarakat Indonesia yang terkena dampak perang.
Melalui keterlibatan militer ini, bangsa Indonesia memperoleh keterampilan dan pengalaman baru di bidang tempur dan strategi. Selain itu, bangsa Indonesia mempunyai semangat juang dan nasionalisme yang tinggi untuk mempertahankan tanah airnya.
Pendudukan Jepang di Indonesia mempunyai dampak yang kompleks dan beragam di berbagai tempat. Pengaruh-pengaruh tersebut menjadi faktor yang turut berperan dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia dari penjajahan asing.
2. Proklamasi kemerdekaan Indonesia
Kemerdekaan Indonesia tentunya bisa melalui deklarasi kemerdekaan. Teks proklamasi kemerdekaan dibacakan oleh Ir.Soekarno di Jakarta pada tanggal 17 Agustus 1945.
Mengapa Proklamasi Kemerdekaan harus dilaksanakan? Apa dampaknya bagi kehidupan masyarakat Indonesia saat ini? Bagaimana keadaan Indonesia pada masa kemerdekaan? dan bagaimana proses kemerdekaan Indonesia? Berikut pemaparan yang dapat menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut.
A. Persiapan kemerdekaan Indonesia
Menjelang akhir tahun 1944, posisi Jepang dalam Perang Asia-Pasifik menjadi semakin penting. Satu demi satu koloni jatuh ke tangan pasukan Sekutu. Untuk membantu menghadapi sekutu, Jepang mencari dukungan dari negara-negara pendudukan dengan menjanjikan kemerdekaan.
Perdana Menteri Jenderal Kuniaki Koiso menjanjikan kemerdekaan Indonesia di hadapan parlemen Jepang pada tanggal 7 September 1944, dengan tujuan untuk merebut simpati rakyat Indonesia. Buktinya, ia memperbolehkan bendera Merah Putih berkibar di kantor-kantor Indonesia asalkan sejajar dengan bendera Jepang.
Bersamaan dengan janji tersebut, Indonesia juga memulai beberapa persiapan kemerdekaan, antara lain sebagai berikut.
1. Membentuk BPUPKI
Sehubungan dengan janji Jepang tersebut, maka pada tanggal 1 Maret 1945, diumumkan pembentukan Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan (BPUPKI). BPUPKI beranggotakan 63 orang dipimpin oleh Dr. Kanjeng Raden Tumenggung Radjiman Wedyodiningrat. BPUPKI menyelenggarakan dua kali sidang dalam kegiatannya. Sidang pertama dilaksanakan pada tanggal 29 Mei sampai dengan 1 Juni 1945, dan sidang kedua pada tanggal 10 Mei sampai dengan 17 Juni 1945.
a. Sidang pertama
Sidang pertama BPUPKI membahas tentang rumusan dasar negara Indonesia merdeka. Agar dapat memahami dengan baik rumusan dasar negara, acara sidang kali ini adalah mendengarkan gagasan tiga tokoh utama pergerakan nasional Indonesia yaitu Mr. Mohammad Yamin, Mr. Soepomo, dan Ir. Soekarno.
Mr Mohammad Yamin mengusulkan gagasan pada 29 Mei 1945, gagasan dasar negaranya antara lain:
1. Peri Kebangsaan
2. Peri Kemanusiaan
3. Peri Ketuhanan
4. Peri Kerakyatan
5. Kesejahteraan Rakyat
Kemudian pada tanggal 31 mei, giliran Mr. Soepomo menyampaikan gagasan dasar negaranya yang isinya adalah sebagai berikut.
1. Persatuan
2. Kekeluargaan
3. Keseimbangan Lahir dan Batin
4. Musyawarah
5. Keadilan Rakyat
Pada tanggal 1 Juni 1945, Ir Soekarno menyampaikan gagasan dasar negaranya yang isinya sebagai berikut.
1. Kebangsaan Indonesia
2. Internasionalisme atau Perikemanusiaan
3. Mufakat atau Demokrasi
4. Kesejahteraan Sosial
5. Ketuhanan Yang Maha Esa
Gagasan yang dikemukakan Ir. Soekarno pada tanggal 1 Juni 1945 untuk merumuskan lima sila dasar Negara Republik Indonesia yang dikenal dengan Pancasila. Peristiwa ini diperingati dengan menetapkan tanggal 1 Juni sebagai hari lahir Pancasila.
Pada akhir sidang pertama ini belum tercapai kesepakatan mengenai rumusan dasar Negara Republik Indonesia yang dianggap benar. Oleh karena itu, dibentuklah sebuah komite kecil yang beranggotakan sembilan orang, dipimpin oleh Ir. Soekarno yang bernama panitia sembilan.
Tugas panitia sembilan tersebut adalah menangani usulan anggota BPUPKI mengenai dasar Negara Republik Indonesia. Rapat panitia Sembilan menghasilkan rumusan yang disebut Piagam Jakarta (Jakarta Charter), yang diterima secara bulat dan ditandatangani pada tanggal 22 Juni 1945.
(Sumber gambar: https://id.wikipedia.org/wiki/Piagam_Jakarta)
b. Sidang kedua
Pada sidang kedua dibahas rencana UUD. Bentuk negara juga dibahas dalam sidang ini. Soal bentuk negara, mayoritas peserta sidang sepakat dengan bentuk dengan republik. Selain itu, BPUPKI juga membentuk panitia kecil beranggotakan 19 orang untuk mempercepat kerja sidang. Panitia ini disebut panitia perancang UUD yang dipimpin oleh Ir. Soekarno.
Panitia tersebut memutuskan bahwa Piagam Jakarta dijadikan inti pembukaan Undang-Undang Dasar(UUD). Untuk merumuskan batang tubuh UUD, Panitia Perancang UUD juga membentuk panitia lebih kecil yang beranggotakan 7 orang yang dipimpin oleh Mr. Soepomo.
Pada tanggal 14 Juli 1945, Panitia Perancang UUD yang dipimpin oleh Soekarno mengumumkan hasil kerja panitia tersebut, yaitu:
1. Pernyataan Indonesia Merdeka.
2. Pembukaan Undang-Undang Dasar.
3. Batang Tubuh UUD.
Dengan demikian, Panitia Perancang UUD telah memenuhi tugasnya. Pada tanggal 16 Juli 1945, BPUPKI dengan suara bulat menyetujui teks UUD yang disusun oleh panitia sembilan.
2. Membentuk PPKI
Pada tanggal 7 Agustus 1945, BPUPKI dibubarkan karena dianggap telah menyelesaikan tugasnya menyusun UUD negara Indonesia. Belakangan dibentuklah Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI). Ketua PPKI adalah Ir. Soekarno dan wakilnya, Drs. Mohammad Hatta, Mr Achmad Subardjo sebagai penasehat PPKI awalnya beranggotakan 21 orang, kemudian ditambah 6 orang sehingga total menjadi 27 orang.
Tugas pokok PPKI adalah mempersiapkan segala sesuatu yang berkaitan dengan peralihan kekuasaan dari Jepang kepada bangsa Indonesia. PPKI dilantik secara simbolis oleh Jenderal Hisaichi Terauchi pada tanggal 9 Agustus 1945 dengan mengundang tiga tokoh nasional yaitu: Ir. Soekarno, Drs. Mohammad Hatta dan Dr. Radjiman Wedyodiningrat.
Ketiga warga negara tersebut diundang ke Saigon, Dalat, Vietnam untuk menerima informasi tentang kemerdekaan Indonesia. Informasi tersebut tidak lain adalah bahwa pelaksanaan kemerdekaan akan segera berlangsung dan wilayah Indonesia akan menjadi seluruh bekas jajahan Hindia Belanda.
B. Peristiwa Rengasdengklok
Peristiwa Rengasdengklok bermula dari menyerahnya Jepang tanpa syarat kepada Sekutu pada tanggal 14 Agustus 1945. Beberapa tokoh muda, khususnya Sutan Syahrir, mengetahui tentang menyerahnya berita Jepang kepada Sekutu. Kemudian Syahrir dan beberapa tokoh pemuda segera menemui Mohammad Hatta yang saat itu baru saja kembali dari Dalat, Vietnam. Bersama Mohammad Hatta, Syahrir dan beberapa pemuda menemui Soekarno di rumahnya.
Syahrir mengusulkan agar Soekarno-Hatta segera memproklamasikan kemerdekaan Indonesia tanpa PPKI, karena sekutu akan menganggap kemerdekaan Indonesia adalah kemerdekaan yang diberikan Jepang. Soekarno-Hatta tidak menerima usulan Syahrir. Mereka berpendapat proklamasi harus dilakukan melalui PPKI sesuai prosedur arahan dari Jepang, yakni pada 24 Agustus 1945.
Pasalnya, meski Jepang kalah, namun kekuatan militernya di Indonesia harus tetap diperhitungkan. Karena perbedaan sikap tersebut, maka pemuda memulai perundingan kembali pada pukul 24.00 sebelum tanggal 16 Agustus 1945. Pertemuan tersebut dihadiri oleh Sukarni, Chaerul Saleh, Yusuf Kunto, dr. Muwardi, Shudanco Singgih dan dr. Sucipto.
Hasil perundingan tersebut disepakati bahwa Soekarno-Hatta akan dipindahkan ke luar kota untuk menjauhkan mereka dari pengaruh Jepang. Para pemuda kemudian membawa Soekarno-Hatta ke Rengasdengklok, Karawang, Jawa Barat pada 16 Agustus 1945 pukul 04.30. Sesampainya di Rengasdengklok, Soekarno-Hatta dan rombongan disambut oleh tentara PETA yang dipimpin oleh Shudanco Subeno. Niat pemuda itu untuk menuntut Soekarno-Hatta tidak terwujud.
Soekarno-Hatta tetap pada pendiriannya. Mereka masih belum mau melaksanakan proklamasi Kemerdekaan hingga mendapat informasi resmi kekalahan Jepang dari Sekutu. Apalagi kemerdekaan harus dibicarakan terlebih dahulu di sidang PPKI. Di tengah suasana itu, Ahmad Soebardjo tiba bersama sekretaris pribadinya, Sudiro, pada pukul 17.30 WIB. Ahmad Soebardjo menceritakan kebenaran tentang menyerahnya Jepang kepada sekutu.
Setelah mendengar kabar tersebut, Soekarno-Hatta akhirnya siap memproklamirkan kemerdekaan Republik Indonesia di Jakarta. Ahmad Soebardjo telah menjamin dengan nyawanya bahwa proklamasi kemerdekaan akan dilaksanakan paling lambat besok pukul 12.00 WIB. Dengan jaminan yang meyakinkan tersebut, Shudanco Subeno akhirnya siap melepaskan Soekarno-Hatta.
C. Perumusan Teks Proklamasi Kemerdekaan Indonesia
Sore hari tanggal 16 Agustus 1945 pukul 20.00 WIB, Soekarno-Hatta dan rombongan berangkat ke Jakarta. Mereka tiba di Jakarta pada pukul 23.00 dan kemudian melanjutkan perjalanan menuju kediaman Laksamana Muda Tadashi Maeda. Lokasi tersebut dinilai aman dari ancaman militer Jepang karena Laksamana Maeda menjabat sebagai kepala kantor penghubung angkatan laut di wilayah kekuasaan Angkatan Darat. Teks proklamasi dibuat di kediaman Laksamana Muda Maeda.
Ir. Soekarno menulis rancangan Proklamasi Kemerdekaan Indonesia yang dibacakan keesokan harinya. Mohammad Hatta dan Ahmad Subardjo menyampaikan gagasannya secara lisan. Kalimat pertama teks proklamasi adalah usulan Ahmad Subardjo, sedangkan kalimat terakhir adalah sumbangan Mohammad Hatta.
Kalimat pertama berisi pernyataan tentang keinginan bangsa Indonesia untuk merdeka, dan kalimat kedua berisi tentang peralihan kekuasaan. Pukul 04.00 WIB, Soekarno membacakan hasil rumusnya. Akhirnya seluruh tokoh yang hadir kemudian dengan suara bulat menerima pernyataan tersebut. Ada permasalahan mengenai siapa yang harus menandatangani teks proklamasi tersebut.
Hatta mengusulkan agar teks proklamasi ditandatangani oleh semua yang hadir sebagai wakil rakyat Indonesia. Kelompok pemuda pimpinan Sukarni menyarankan agar Soekarno dan Hatta menandatangani teks proklamasi tersebut atas nama bangsa Indonesia. Sukarni pun menyarankan Soekarno untuk membacakan teks proklamasi tersebut. Usulan Sukarni diterima dan kemudian Soekarno meminta Sayuti Melik mengetik teks proklamasi dengan beberapa perubahan yang diterima. Tiga perubahan pada pengetikan Sayuti Melik, yakni:
1. Kata ”tempoh” diganti menjadi ”tempo”.
2. Kata ”wakil-wakil bangsa Indonesia” diganti menjadi ”Atas nama bangsa Indonesia”.
3. Penulisan tanggal yang tertera ”Djakarta, 17-8-05” menjadi ”Djakarta, hari 17 boelan 8 tahoen ‘05”.
Selain itu, Sukarni menyarankan untuk membacakan proklamasi di Jalan Pegangsaan Timur, No. 56, Jakarta Timur tepatnya di rumah Syekh Faradj bin Said bin Awadh Martak, seorang pengusaha kaya kelahiran Hadramaut, Yaman yang memiliki jiwa nasionalisme untuk Bangsa Indonesia yang tinggi. Saran tersebut terlaksana dan rapat dibubarkan setelah diputuskan waktu pembacaan Proklamasi Kemerdekaan, yakni pukul 10.00 WIB. Pada 17 Agustus 1945.
D. Proklamasi Kemerdekaan
Sejak pagi hari tanggal 17 Agustus 1945, Jalan Pegangsaan Timur No. 56, Jakarta Timur. Halaman Soekarno sudah penuh orang sebelum teks proklamasi dibacakan. dr. Moewardi menugaskan Latief Hendraningrat untuk menjaga keamanan upacara tersebut. Arifin Abdurrahman membantu Latif dalam tindakan pengamanan untuk mengantisipasi keterlibatan militer Jepang.
Tepat pukul 10.00 WIB Upacara Proklamasi Kemerdekaan RI dimulai. Usai pembacaan pidato dan proklamasi, pengibaran bendera merah putih dilakukan oleh Latief Hendraningrat dan Suhud Sastro Kusumo. Para hadirin bersama-sama menyanyikan lagu kebangsaan Indonesia Raya. Acara proklamasi tersebut diakhiri oleh Walikota Jakarta Suwiryo dan dr. Moewardi. Peristiwa yang sangat bersejarah itu berlangsung secara sederhana dan berlangsung kurang dari satu jam. Namun peristiwa tersebut memberikan dampak yang luar biasa bagi masyarakat Indonesia.
E. Sambutan Rakyat terhadap Proklamasi Kemerdekaan
Puncak perjuangan bangsa untuk merdeka dari penjajah adalah dengan diproklamirkannya kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945. Sebagian besar masyarakat Indonesia dapat dengan cepat menyikapi maksud sebenarnya dari deklarasi tersebut.
Namun ada juga yang beranggapan bahwa kemerdekaan berarti terbebas dari segalanya, sehingga mereka berusaha melawan kekuatan-kekuatan yang mengikatnya. Sikap ini pada gilirannya menimbulkan perlawanan baik terhadap militer Jepang maupun pemerintah daerah yang membantu penjajah pada masa penjajahan Belanda dan pendudukan Jepang.
1. Rapat raksasa di Lapangan Ikada
Masyarakat Indonesia baik di pusat maupun di daerah pada umumnya melakukan tindakan-tindakan yang mendukung proklamasi kemerdekaan Indonesia. Seperti pemuda yang diprakarsai oleh Komite Van Menteng 31.
Mereka ingin para pemimpin perjuangan kemerdekaan bertemu dengan rakyat dan berbicara di hadapan mereka tentang kemerdekaan Indonesia sebagai puncak perjuangan rakyat. Rencana ini dilaksanakan melalui dua cara, yaitu dengan mempersiapkan mobilisasi massa dan mengkomunikasikan rencana tersebut kepada Presiden.
Presiden Soekarno dan Wakil Presiden Moh. Hatta yang terpilih secara aklamasi oleh PPKI menyetujui rencana tersebut, begitu pula para menteri yang sudah dilantik. Presiden dan Wakil Presiden serta para menteri kemudian melanjutkan perjalanan menuju Lapangan Ikada.
Soekarno naik ke panggung dan memberikan pidato singkat setelah memasuki Lapangan Ikada. Soekarno meminta dukungan dan kepercayaan seluruh rakyat Indonesia untuk mengikuti kebijakannya, patuh dan disiplin. Permintaan itu ternyata dituruti massa yang memadati Lapangan Ikada. Melihat fenomena tersebut, pertemuan raksasa di Lapangan Ikada ini merupakan demonstrasi pertama kewibawaan Pemerintah Republik Indonesia terhadap rakyatnya.
2. Tanggapan di Berbagai Daerah terhadap Proklamasi
Kabar mengenai proklamasi kemerdekaan langsung menyebar ke beberapa daerah di Indonesia. Pekik kemerdekaan mewarnai salam masyarakat Indonesia di setiap gang, pasar, lembaga pendidikan dan banyak tempat umum lainnya. Rasa syukur atas kemerdekaan diungkapkan dengan berbagai cara.
Doa syukur dipanjatkan di tempat ibadah sesuai agama dan kepercayaan. Rasa syukur atas kemerdekaan tidak hanya diungkapkan secara lisan, namun juga melalui tindakan. Semangat kemerdekaan menyulut keberanian bangsa Indonesia di berbagai daerah.
F. Terbentuknya NKRI
Ketika Negara Republik Indonesia memproklamirkan kemerdekaan pada tanggal 17 Agustus 1945, Indonesia masih belum mempunyai kepala pemerintahan dan belum ada sistem pemerintahan daerah yang jelas. Oleh karena itu, setelah proklamasi kemerdekaan, segera dibentuk sistem pemerintahan dengan tujuan agar pembangunan dapat berlangsung dengan baik. Para pemimpin membentuk lembaga negara dan aparatur negara sehari setelah pengumuman. PPKI segera mengadakan rapat-rapat yang menghasilkan keputusan-keputusan penting sebagai berikut.
1. Pengesahan UUD 1945
Sebagai landasan hukum yang kuat bagi kehidupan negara, menentukan arahnya.
2. Pemilihan presiden dan wakil presiden
Secara aklamasi dalam musyawarah untuk mufakat memilih Soekarno dan Hatta sebagai presiden dan wakil presiden.
3. Pembagian Wilayah Indonesia
Berdasarkan hasil rapat PPKI tanggal 19 Agustus 1945 memutuskan bahwa Indonesia dibagi menjadi 8 provinsi yakni Sumatera, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Sunda Kecil, Maluku, Sulawesi, dan Kalimantan (Borneo).
4. Pembentukan kementrian
Pada tanggal 2 September 1945, susunan kabinet Indonesia pertama dibentuk. Kabinet ini adalah Kabinet Presidensial yang bertanggung jawab kepada Presiden. Berikut susunan kabinet Indonesia pertama.
Selain itu juga diangkat pejabat setingkat menteri yang mengepalai lembaga negara.
5. Pembentukan Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP)
Pada tanggal 22 Agustus 1945, PPKI kembali mengadakan rapat untuk membentuk KNIP (Komite Nasional Indonesia Pusat) menggantikan PPKI. Pada tanggal 29 Agustus 1945, seluruh anggota PPKI kecuali Soekarno dan Hatta diangkat menjadi anggota KNIP. Tugas dan wewenang KNIP adalah menjalankan fungsi pengawasan dan berhak ikut serta dalam menetapkan GBHN (Garis-garis Besar Haluan Negara).
6. Membentuk kekuatan pertahanan dan keamanan
Pada tanggal 23 Agustus, Presiden Soekarno secara resmi menyetujui Badan Keamanan Nasional (BKR) sebagai lembaga kepolisian yang bertugas menjamin keamanan. Kebanyakan anggota BKR merupakan bekas anggota PETA, KNIP dan Heiho. Pada tanggal 5 Oktober, Tentara Keamanan Rakyat (TKR) berdiri. Supriyadi terpilih sebagai pemimpin TKR. Atas dasar maklumat tersebut Raden Oerip Soemohardjo segera membuat markas besar TKR yang dipusatkan di Yogyakarta.
3. Mempertahankan kemerdekaan Indonesia
Setelah bangsa Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya pada tanggal 17 Agustus 1945, mereka masih harus menghadapi Belanda yang ingin kembali berkuasa di Indonesia. Berbagai upaya telah dilakukan bangsa Indonesia untuk mempertahankan kemerdekaannya. Upaya apa yang telah dilakukan? Berikut penjelasannya.
A. Perjuangan fisik
Pertempuran yang disertai pertumpahan darah terus terjadi di seluruh pelosok Indonesia pasca proklamasi kemerdekaan. Berikut ini beberapa pertempuran dan peristiwa yang terjadi pada masa mempertahankan kemerdekaan Indonesia.
1. Insiden Hotel Yamato
Insiden Hotel Yamato merupakan peristiwa perobekan bendera Belanda yang berwarna merah-putih-biru menjadi bendera yang berwarna Indonesia merah-putih. Insiden Hotel Yamato terjadi pada tanggal 19 September 1945 di Hotel Yamato Surabaya. Bagaimana kronologinya? Markibas.
Selepas proklamasi kemerdekaan Indonesia dan dikeluarkan perintah dari pemerintahan Soekarno pada tanggal 31 Agustus 1945 yang menetapkan bahwa mulai tanggal 1 September 1945, bendera merah putih harus dikibarkan terus menerus di seluruh wilayah Indonesia Gerakan pengibaran bendera tersebut semakin menyebar ke seluruh pelosok kota Surabaya.
Di banyak tempat strategis dan tempat lainnya, bendera Indonesia dikibarkan. Antara lain di teras atas gedung kantor Karesidenan yang terletak di depan gedung Kempeitai, di atas gedung Internatio, lalu rombongan pemuda dari berbagai penjuru Surabaya berbendera Indonesia datang ke Tambaksari untuk ikut pertemuan besar yang diselenggarakan oleh Front Pemuda Surabaya.
Dalam pertemuan tersebut, bendera Merah Putih berkibar di Lapangan Tambaksari disertai teriakan “Merdeka” dari massa. Meskipun Pihak Kempeitai telah melarang pertemuan tersebut, mereka tidak mampu menghentikan dan membubarkan sebagian besar penduduk Surabaya. Puncak pergerakan bendera di Surabaya adalah perobekan bendera di Hotel Yamato Jl. Tunjungan no. 65 Surabaya.
Awalnya Jepang dan Indo-Belanda yang telah keluar dari interniran membentuk organisasi Social Contact Committee yang mendapat bantuan penuh dari Jepang. Pembentukan komite ini didukung oleh Palang Merah Internasional.
Namun, bersembunyi di balik Palang Merah, mereka terlibat dalam aktivitas politik. Mereka berusaha mengambil alih gudang dan beberapa tempat yang mereka tempati, seperti Hotel Yamato. Pada tanggal 18 September 1945, perwira sekutu dan Belanda dari AFNEI (Allied Forces Netherlands East Indies) tiba di Surabaya bersama tim Palang Merah dari Jakarta.
Administrasi Jepang di Surabaya menempatkan rombongan Sekutu di Hotel Yamato, Jl Tunjungan 65, sedangkan rombongan Intercross bertempat di Gedung Setan, Jl Tunjungan 80 Surabaya, tanpa izin dari Pemerintah Karesidenan Surabaya. Dan sejak saat itu, Hotel Yamato digunakan sebagai markas RAPWI (Rehabilitation of Allied Prisoners of War and Internees atau Bantuan Rehabilitasi Tawanan Perang dan Interniran).
Sekelompok orang Belanda di bawah pimpinan Victor Willem Charles Ploegman Ploegman mengibarkan bendera Belanda (merah-putih-biru) di sebuah tiang tanpa persetujuan pemerintah daerah Surabaya, Indonesia, pada malam tanggal 19 September 1945 tepat pukul 21.00 di Hotel Yamato tingkat atas, sisi utara.
Keesokan harinya, para pemuda Surabaya melihat hal tersebut dan menjadi marah karena menganggap Belanda melanggar kedaulatan Indonesia yang ingin memulihkan kekuasaan di Indonesia,dan menghina gerakan pengibaran bendera merah putih di Surabaya.
Saat massa berkumpul, Sudirman yang merupakan residen Pemerintah Indonesia wilayah Surabaya dan kemudian wakil residen yang masih dikenal oleh pemerintah Dai Nippon Surabaya Syu, menerobos kerumunan dan masuk ke Hotel Yamato bersama Sidik dan Hariyono sebagai pengawal. Sebagai wakil Indonesia, ia berunding dengan Ploegman dan kawan-kawanya meminta agar bendera Belanda segera diturunkan dari gedung Hotel Yamato.
Dalam perundingan tersebut, Ploegman menolak menurunkan bendera Belanda dan mengakui kedaulatan Indonesia. Negosiasi semakin intensif, Ploegman mengeluarkan pistol dan terjadi perkelahian di ruang perundingan.
Ploegman tewas dicekik oleh Sidik, yang juga dibunuh oleh tentara Belanda yang berjaga-jaga dan mendengar suara tembakan pistol Ploegman, sedangkan Sudirman dan Hariyono melarikan diri dari Hotel Yamato.
Di luar hotel, para pemuda yang mengetahui bahwa negosiasi telah gagal, kemudian menyerbu Hotel Yamato dan terjadi perkelahian di lobi hotel. Beberapa pemuda bergegas menuju puncak hotel untuk menurunkan bendera Belanda. Hariyono yang semula bersama Sudirman kembali ke hotel dan ikut memanjat tiang bendera dan bersama Kusno Wibowo berhasil menurunkan bendera Belanda, merobek bagian birunya dan menaikkannya kembali ke puncak tiang. Massa yang berada di bawah hotel menyambut kejadian tersebut dengan berulang kali meneriakkan "Merdeka"
2. Pertempuran Surabaya
Pertempuran Surabaya adalah serangkaian peristiwa pertempuran yang terjadi antara tentara Indonesia dan pasukan Sekutu pada tanggal 27 Oktober hingga 20 November 1945. Pertempuran terbesar terjadi pada tanggal 10 November 1945. Bagaimana kronologi sebenarnya? Berikut pembahasannya.
Setelah insiden Hotel Yamato pada tanggal 27 Oktober 1945, terjadilah pertempuran pertama antara pasukan Indonesia dan Inggris. Serangan-serangan kecil ini kemudian menjadi serangan umum yang memakan banyak korban jiwa baik dari pihak Indonesia maupun Inggris sebelum akhirnya Jenderal Douglas Cyril Hawthorn meminta bantuan Presiden Soekarno untuk menenangkan situasi.
Pasca gencatan senjata antara pihak Indonesia dan tentara Inggris pada tanggal 29 Oktober 1945, keadaan berangsur-angsur mereda. Meski begitu, terjadi bentrokan bersenjata antara masyarakat dan tentara Inggris di Surabaya. Bentrokan bersenjata di Surabaya ini memuncak dengan terbunuhnya Brigadir Jenderal Aubertin Walter Sothern Mallaby pada tanggal 30 Oktober 1945 sekitar pukul 20.30.
Mobil Buick yang ditumpangi Brigadir Mallaby melewati rombongan milisi Indonesia yang melintasi Jembatan Merah. Kesalahpahaman tersebut berujung pada baku tembak yang berakhir dengan penembakan Brigadir Jenderal Mallaby oleh seorang pemuda Indonesia yang belum diketahui identitasnya dan mobil yang dinaiki Mallaby terbakar akibat ledakan granat sehingga sulit untuk mengidentifikasi jenazah Mallaby.
Kematian Mallaby membuat marah Inggris terhadap Indonesia. Kemudian Inggris mengirim Mayor Jenderal Robert Mansergh untuk mengeluarkan ultimatum terhadap Indonesia. Mayor Jenderal Robert Mansergh kemudian mengeluarkan ultimatum agar seluruh pemimpin dan rakyat Indonesia yang bersenjata harus melapor dan meletakkan senjata di tempat yang telah ditentukan serta menyerah dengan tangan terangkat. Batas waktu ultimatum adalah 10 November 1945 pukul 06:00.
Ultimatum tersebut kemudian dianggap sebagai penghinaan terhadap para pejuang dan orang-orang yang banyak membentuk milisi perjuangan. Pihak Indonesia menolak ultimatum tersebut dengan alasan sebelum waktu tersebut NKRI sudah berdiri dan TKR juga dibentuk sebagai tentara negara.
Selain itu, masyarakat banyak mendirikan organisasi perjuangan bersenjata, termasuk di kalangan pemuda, pelajar, dan mahasiswa yang menentang kembalinya kekuasaan Belanda yang menggusur kehadiran pasukan Inggris di Indonesia. Pada pagi hari tanggal 10 November, tentara Inggris melancarkan serangan. Pasukan Sekutu menghadapi perlawanan dari tentara dan milisi Indonesia.
Selain Bung Tomo, ada juga orang-orang lain yang berpengaruh dalam mobilisasi masyarakat Surabaya saat itu, beberapa di antaranya berasal dari latar belakang agama, seperti KH. Hasyim Asy'ari, KH. Wahab Hasbullah, KH. Abdul Karim dan kyai pesantren lainnya juga membentuk kekuatan perlawanan santri dan masyarakat sipil.
Pada saat itu masyarakat belum begitu taat kepada pemerintah, namun patuh dan taat kepada kyai/ulama), sehingga perlawanan dari pihak Indonesia semakin sengit hari demi hari, minggu demi minggu. Awalnya terjadi secara spontan dan tidak terkoordinasi, perlawanan rakyat menjadi terorganisir dari hari ke hari. Pertempuran ini berlangsung sekitar tiga minggu.
Korban tewas di Indonesia diperkirakan mencapai 6.300 hingga 15.000 orang, dan mungkin 200.000 orang mengungsi dari kota yang hancur tersebut. Korban dari pihak Inggris berjumlah 295 orang dan hilang. Pertempuran berdarah di Surabaya yang memakan ribuan korban jiwa, memobilisasi perlawanan rakyat di seluruh Indonesia untuk melakukan perlawanan.
Walaupun demikian pada akhirnya Kota Surabaya dapat sekutu kuasai. Akan tetapi, pertempuran Surabaya menjadi lambang atas perlawanan terhadap penjajah. Banyaknya pejuang dan warga sipil yang terbunuh pada tanggal 10 November kemudian diperingati pada Hari Pahlawan oleh Republik Indonesia hingga saat ini.
3. Pertempuran Lima Hari di Semarang
Pertempuran lima hari di Semarang terjadi antara rakyat Indonesia melawan pasukan Jepang di Semarang pada tanggal 15 hingga tanggal 20 Oktober 1945. Bagaimana kronologi sebenarnya? Dalam siapa saja tokoh yang terlibat dalam kejadian ini? Berikut pembahasannya.
Beberapa tokoh yang terlibat dalam kejadian ini adalah:
• dr. Kariadi, Kepala Laboratorium Pusat Rumah Sakit Rakyat (RS Purasara)
• drg. Soenarti, Istri dari dr. Kariadi
• Mr. Wongsonegoro, Gubernur Jawa Tengah
• Dr. Sukaryo dan Shudanco Mirza Sidharta, tokoh Indonesia yang ditangkap oleh Jepang bersama Mr. Wongsonegoro.
• Mayor Kido, Pemimpin Kidobutai yang berpusat di Jatingaleh.
• Mr. R. H. Kasman Singodimedjo, Perwakilan perundingan gencatan senjata dari Indonesia.
• Jenderal Nakamura, perwira tinggi yang ditangkap oleh TKR di Magelang.
Pertempuran lima hari di Semarang diawali dengan berita kemerdekaan Indonesia yang menginspirasi generasi muda untuk mengambil alih senjata di pos militer Jepang. Pembentukan Badan Keamanan Rakyat (BKR) yang menjadi Tentara Keamanan Rakyat (TKR) mengawali upaya perlucutan senjata Jepang di beberapa wilayah Jawa Tengah.
Pelucutan senjata Jepang berlangsung tanpa kekerasan di beberapa tempat, namun tidak di Semarang. Kidobutai (pusat militer Jepang di Jatingaleh) tampak enggan menyerahkan senjatanya, padahal Gubernur Mr. Wongsonegoro meyakinkannya bahwa senjata tersebut tidak dimaksudkan untuk melawan Jepang. Jepang hanya menyerahkan sejumlah kecil senjata apalagi senjata tersebut sudah cukup usang.
Kecurigaan BKR dan Pemuda Semarang semakin bertambah setelah sekutu mulai mendaratkan pasukannya di Pulau Jawa. Mereka khawatir Jepang akan menyerahkan senjatanya kepada Sekutu dan berasumsi harus mendapatkan senjata tersebut sesaat sebelum Sekutu mendarat di Semarang.
Pada tanggal 14 Oktober 1945, tentara Jepang kembali menolak menyerahkan senjatanya, sehingga membuat marah pemuda tersebut. Tahanan Jepang yang bekerja di pabrik gula Cepiring akan dipindahkan ke Bulu, namun melarikan diri dan bergabung dengan pasukan Kidobutai bersama Jenderal Nakamura dan Mayor Kido.
Gesekan antara Jepang dan anak muda ini dimulai dari Cepiring hingga Jatingaleh. Di Jatingaleh, pasukan Jepang yang mundur bergabung dengan pasukan Kidobutai yang ditempatkan di lokasi tersebut. Suasana kota Semarang memanas akibat beredarnya rumor bahwa pasukan Kidobutai Jatingaleh akan segera melancarkan serangan balik terhadap pemuda Indonesia. Ditambah lagi tersiar kabar bahwa Jepang berupaya meracuni sumber air minum Waduk Siranda untuk membunuh masyarakat Semarang.
Situasi tersebut memperburuk tindakan Jepang yang melucuti senjata 8 polisi Indonesia yang menjaga lokasi untuk mencegah keracunan persediaan air minum. Bahkan dr. Kariadi yang hendak mengecek sumber air ditemukan tewas di Jalan Pandanaran, Semarang karena dibunuh tentara Jepang. Hal itu terjadi setelah dr. Kariadi tetap memeriksa sumber air minum, meski drg. Soenarti membantahnya karena khawatir.
Keesokan harinya, tanggal 15 Oktober 1945, Angkatan Muda Semarang dengan didukung Tentara Keamanan Rakyat menyambut kedatangan 2.000 tentara Jepang ke kota Semarang. Perang terjadi di empat tempat di Semarang, yakni kawasan Kintelan, Pandanaran, Jombang, dan Simpang Lima.
Pada pukul 14.00, Mayor Kido memerintahkan anak buahnya untuk melancarkan serangan terhadap pasukan Indonesia. Pihak Indonesia sendiri juga menyerang Jepang dengan membakar gudang amunisi. Alhasil, Mayor Kido melancarkan serangan balik sekitar pukul 15.00.
Pada pukul 15.00, Mayor Kido mengerahkan seluruh anggotanya untuk melakukan penyerangan di wilayah yang dikuasainya. Mayor Kido kemudian membagi pasukannya menjadi dua kelompok yang terdiri dari 383 dan 94 orang. Setelah mendengar penyerangan tersebut, TKR mengirimkan bala bantuan ke kota Semarang. Pertempuran antara Jepang dan Indonesia di Semarang berlanjut keesokan harinya.
Pada tanggal 16 Oktober 1945, pasukan Jepang berhasil merebut penjara Bulu sekitar pukul 16.30. Setelah itu, anak buah Mayor Kido semakin kalut dan melanjutkan penyerangannya hingga tanggal 19 Oktober 1945. Gencatan senjata ditandatangani antara kedua belah pihak pada tanggal 19 Oktober 1945, namun tetap tidak menghentikan situasi yang sedang genting.
Akhirnya pertempuran lima hari di Semarang berakhir ketika Mr. R. H. Kasman Singodimedjo dan Mr. Sartono yang mewakili Indonesia merundingkan gencatan senjata dengan panglima tentara Jepang, Letkol Nomura. Brigadir Jenderal Bethel, perwakilan Sekutu juga hadir dalam negosiasi tersebut. Sekutu kemudian melucuti semua senjata Jepang pada tanggal 20 Oktober 1945, menandai berakhirnya secara resmi Pertempuran lima hari di Semarang.
Diperkirakan 2.000 orang tewas dalam Pertempuran Lima Hari di Semarang. Menurut versi lain, kurang dari 300 orang tewas dalam kecelakaan itu. Di pihak Jepang, sejarawan Jepang Ken'ichi Goto menulis bahwa 187 orang tewas dalam pertempuran tersebut. Sementara itu, Mayor Kido melaporkan 42 tentara tewas, 43 luka-luka, dan 213 hilang.
Monumen Tugu Muda dibangun untuk memperingati peristiwa tersebut, terletak di bundaran Jalan Pemuda atau persimpangan Jalan Pandanaran, Jalan Imam Bonjol dan Jalan MGR. Soegijapranata. Monumen tersebut kemudian menjadi pengingat dan penghormatan terhadap perjuangan para pemuda pada peristiwa heroik Pertempuran Lima Hari di Semarang.
4. Pertempuran Ambarawa
Pertempuran Ambarawa merupakan peristiwa perlawanan bangsa Indonesia terhadap pasukan Sekutu yang terjadi di Ambarawa, Kabupaten Semarang, Jawa Tengah yang terjadi pada tanggal 20 Oktober hingga 15 Desember 1945. Bagaimana kronologi sebenarnya? Berikut pembahasannya.
Pertempuran Ambarawa bermula ketika terjadi peristiwa di Magelang. Pada tanggal 20 Oktober 1945, Brigade Artileri Divisi India ke-23 atau Angkatan Darat Inggris di bawah komando Brigjen Bethell mendarat di Semarang. Republik Indonesia mengizinkan Bethell untuk melihat pelucutan senjata pasukan Jepang.
Ia juga diberi kesempatan untuk mengevakuasi 19.000 Interniran Sekutu (APW) yang berada di kamp Banyu Biru di Ambarawa dan Magelang. Namun ternyata mereka didampingi oleh pihak NICA (Netherland Indies Civil Administration) atau Pemerintahan Sipil Hindia Belanda. Mereka kemudian mempersenjatai para tahanan Jepang.
Pada tanggal 26 Oktober 1945, terjadilah peristiwa itu di Magelang. Pertempuran antara TKR dan Tentara Inggris terus berlanjut. Pertempuran berakhir ketika Presiden Soekarno dan Brigjen Bethell tiba di Magelang pada 2 November 1945. Mereka pun merundingkan gencatan senjata.
Melalui negosiasi ini tercapai kesepakatan, antara lain:
1. Pihak Inggris akan tetap menempatkan pasukannya di Magelang untuk melakukan kewajibannya melindungi dan mengurus evakuasi APW.
2. Jalan raya Magelang-Ambarawa terbuka bagi lalu lintas Indonesia dan Inggris.
3. Inggris tidak akan mengakui aktivitas NICA dalam badan-badan yang berada di bawah kekuasaannya.
Sayangnya, Inggris mengingkari perjanjian tersebut. Peluang dan kelemahan yang terdapat pada pasal tersebut dimanfaatkan Inggris untuk menambah jumlah tentara di Magelang. Pada tanggal 20 November 1945, terjadi pertempuran di Ambarawa antara TKR pimpinan Mayor Sumarto dengan pasukan Inggris. Pada tanggal 21 November 1945, pasukan Inggris di Magelang dipindahkan ke Ambarawa dan dilindungi dengan pesawat terbang.
Pertempuran dimulai pada tanggal 22 November 1945, ketika pasukan Inggris mengebom desa-desa sekitar Ambarawa. Para prajurit TKR bersama prajurit pemuda lainnya dari Boyolali, Salatiga dan Kartasura membentuk garis pertahanan di sepanjang jalur kereta api dan memisahkan kota Ambarawa.
Dari arah Magelang, pasukan TKR dipimpin Imam Adrongi dari divisi V/Purwokerto melancarkan serangan subuh. Tujuan penyerangan itu adalah untuk memukul pasukan Inggris yang ditempatkan di Desa Pingit. Pasukan Imam juga berhasil menguasai Desa Pingit.
Pada saat yang sama, kekuatan di Ambarawa bertambah dengan datangnya tiga batalyon dari Yogyakarta. Mereka adalah Batalyon 10 Divisi X Mayor Soeharto, Batalyon 8 Mayor Sardjono, dan Batalyon Sugeng. Meski tentara Inggris terkepung, mereka terus berusaha mematahkan pengepungan tersebut. Ambarawa dihujani tembakan meriam.
Untuk menghindari jatuhnya korban, para komandan memerintahkan TKR mundur ke Bedono. Pasukan pembantu Resimen 2 pimpinan M. Sarbini dan Batalyon Polisi Khusus pimpinan Onie Sastoatmodjo serta Batalyon Yogyakarta berhasil mengendalikan pergerakan musuh di Desa Jambu.
Rapat koordinasi dilaksanakan di desa Jambu di bawah pimpinan Kolonel Holand Iskandar. Pertemuan itu menghasilkan terbentuknya sebuah komando yang berkedudukan di Magelang yang disebut Markas Pimpinan Pertempuran. Pada tanggal 26 November 1945, salah satu komandannya meninggal. Dialah Letkol Isdiman, Panglima Militer Purwokerto. Posisinya digantikan oleh Kolonel Sudirman. Sejak itu, gelombang pertempuran semakin berpihak pada TKR. Pada tanggal 5 Desember 1945, musuh berhasil diusir dari Desa Banyubiru.
Pada tanggal 11 Desember 1945, Kolonel Sudirman mengadakan perundingan dengan rapat para komandan sektor. Berdasarkan laporan komandan sektor, Kolonel Soedirman menyimpulkan posisi musuh telah berhasil dijepit. Sehingga perlu segera melancarkan serangan yang terakhir, yaitu:
1. Serangan mendadak dilakukan serentak dari semua sektor.
2. Penyerangan dipimpin oleh komandan masing-masing sektor.
3. Pasukan laskar dipersiapkan sebagai pasukan cadangan.
4. Serangan dimulai pukul 04:30 tanggal 12 Desember.
Pada tanggal 12 Desember 1945, pasukan TKR bergerak menuju sasarannya. Dalam waktu 1,5 jam mereka berhasil mengepung posisi musuh di kota. Ambarawa dikepung selama empat hari empat malam. Di bawah tekanan, pasukan Inggris berusaha menghentikan pertempuran. Pada tanggal 15 Desember 1945, pasukan Inggris meninggalkan Ambarawa dan mundur ke Semarang.
5. Pertempuran Medan Area
Pertempuran Medan adalah peristiwa perlawanan rakyat terhadap pasukan Sekutu yang terjadi pada tanggal 9 Oktober 1945 di Medan, Sumatera Utara. Pada tanggal 9 Oktober 1945, pasukan Sekutu di bawah Brigadir Jenderal T.E.D. Kelly tiba di Medan. Ternyata kedatangan pasukan Sekutu menyusul NICA (Netherlands Indies Civil Administration) yang tujuannya ingin mengambil alih pemerintahan. Hal ini memicu perlawanan rakyat di kota Medan.
Pertempuran pertama terjadi pada tanggal 13 Oktober 1945 antara pemuda dan pasukan sekutu. Para pemuda menyerang gedung-gedung pemerintah yang dikuasai sekutu. Pertempuran ini kemudian merambah beberapa kota lain seperti Pematang Siantar dan Berastagi. Karena banyaknya kejadian, pada tanggal 18 Oktober 1945 Sekutu mengultimatum rakyat agar menyerahkan senjatanya kepada Sekutu.
Pada tanggal 1 Desember 1945, pasukan Sekutu menandai pinggiran Medan sebagai "Fixed Boundaries Medan Areas ", mengacu pada wilayah yang dikuasainya. Sejak itulah istilah kawasan Medan menjadi terkenal. Pasukan Sekutu dan NICA mengusir seluruh elemen Republik Indonesia di kota Medan.
Para pemuda juga melakukan perlawanan terhadap sekutu dan NICA sehingga menyebabkan Medan menjadi tidak aman. Kemudian pada tanggal 10 Desember 1945, Sekutu melancarkan operasi militer besar-besaran terhadap pejuang Indonesia dengan menggunakan pesawat tempurnya.
Pejuang Indonesia menanggapi serangan tersebut, menyebabkan bentrokan di seluruh kota. Insiden Pertempuran Medan 13 Oktober 1945 hingga April 1946 memakan banyak korban jiwa. Tujuh pemuda, tujuh orang NICA diketahui tewas dan 96 orang NICA lainnya luka-luka. Selain itu, beberapa wilayah kota Medan hancur karena merupakan zona pertempuran antara pihak Indonesia dengan sekutu dan NICA.
6. Bandung Lautan Api
Peristiwa Bandung Lautan Api merupakan kebakaran besar yang terjadi di kota Bandung, Jawa Barat, pada tanggal 23 Maret 1946. Pada tanggal 12 Oktober 1945, prajurit Brigade MacDonald Inggris tiba di Bandung. Mereka ingin menguasai kota ini untuk dijadikan pangkalan militer strategis.
Mereka menuntut pengembalian seluruh senjata yang disita dari tentara Belanda. Selain itu, tahanan Belanda yang baru dibebaskan muncul kembali dan terlibat dalam aktivitas yang mengganggu. Hal ini mengakibatkan bentrokan bersenjata antara tentara Inggris dan Indonesia.
Tiga hari kemudian, MacDonald menyampaikan ultimatum kepada Gubernur Jawa Barat agar segera mengosongkan Bandung bagian utara. Ultimatum pertama membagi Bandung menjadi dua bagian yakni Bandung Utara di bawah kendali Sekutu dan Bandung Selatan masih di bawah kendali pemerintah Indonesia.
Setelah ultimatum disampaikan, terjadi pertempuran sporadis di berbagai tempat. Karena terdesak, sekutu kembali mengeluarkan ultimatum paling lambat pukul 24.00 tanggal 24 Maret 1946, pasukan Indonesia meninggalkan Bandung 10-11 kilometer dari pusat kota.
Ultimatum tersebut mendorong militer Indonesia untuk menyusun strategi. Ketidakseimbangan jumlah pasukan Indonesia dan sekutu membuat militer Indonesia merencanakan Operasi Bumi Hangus. Komandan TRI Divisi III Kolonel Abdul Haris Nasoetion memerintahkan untuk mengamankan warga ke tempat yang lebih aman.
Peristiwa Bandung Lautan Api merupakan salah satu peristiwa heroik terbesar dalam mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Kejadian inilah yang menjadi inspirasi Ismail Marzuki untuk menciptakan lagu berjudul "Halo-Halo Bandung". Sebuah lagu yang menggambarkan semangat juang masyarakat Bandung pada saat acara tersebut.
7. Pertempuran Puputan Margarana
Pertempuran Puputan Margarana merupakan salah satu pertempuran antara Indonesia dan Belanda yang terjadi pada tanggal 20 November 1946. Kata Puputan berarti berjuang sampai titik darah penghabisan. Dalam ajaran agama Hindu, kata Puputan mempunyai makna moral, karena gugurnya seorang prajurit dalam peperangan merupakan suatu kehormatan bagi keluarganya.
Setelah Indonesia dan Belanda menandatangani Perjanjian Linggarjati pada tanggal 25 Maret 1947, Belanda mulai berupaya mendirikan Negara Indonesia Timur (NIT). Setelah itu I Gusti Ngurah Rai berangkat ke Yogyakarta yang kemudian mengangkatnya menjadi komandan Resimen Sunda Kecil dengan pangkat letnan kolonel.
Letkol I Gusti Ngurah Rai yang berangkat ke Yogyakarta untuk berunding dengan markas TRI menolak bekerjasama dalam pembentukan NIT. Diketahui, Letkol I Gusti Ngurah Rai dan rekan-rekannya membentuk Tentara Keamanan Rakyat (TKR) Sunda Kecil pasca proklamasi kemerdekaan yang dipimpin oleh I Gusti Ngurah Rai.
Di bawah kepemimpinan I Gusti Ngurah Rai, TKR Sunda Kecil memiliki 13,5 kompi di seluruh kota di Bali dan dikenal dengan nama Ciung Wanara. I Gusti Ngurah Rai dan prajuritnya kemudian memutuskan untuk berperang melawan Belanda. Pada tanggal 18 November 1946, markas pertahanan atau militer Belanda di Tabanan, Bali diserang hebat.
Hal ini membuat marah Belanda dan memusatkan seluruh kekuatannya di sekitar Bali, khususnya Tabana. Belanda mengirimkan pasukan “Gajah Merah”, “Anjing Hitam”, “Singa”, “Polisi Negara”, “Polisi Perintis” dan tiga orang pejuangnya. Pasukan Belanda memulai serangannya pada tanggal 20 November 1946 pukul 05.30 WITA dengan melepaskan tembakan ke wilayah pasukan Bali.
Angkatan bersenjata pasukan ini relatif kecil, sehingga tidak dapat melancarkan serangan balik terhadap pasukan Belanda. Sekitar pukul 09.00 WITA, pasukan Belanda yang berjumlah sekitar 20 orang mulai mendekat dari arah barat laut, dan beberapa saat kemudian terdengar suara tembakan.
Sebanyak 17 tentara Belanda tewas ditembak pasukan Ciung Wanara pimpinan I Gusti Ngurah Rai. Mengetahui tentaranya tewas, Belanda melancarkan serangan dari berbagai arah. Namun upaya tersebut beberapa kali gagal ketika pasukan Ciung Wanara kembali berhasil menyerang. Selain itu, Belanda menghentikan serangannya selama satu jam.
Beberapa saat kemudian, Belanda kembali menyerang dengan mengirimkan tentara dan pesawat pengintai sekitar pukul 11.30 WITA. Serangan ini kembali berhasil dihentikan oleh pasukan Ciung Wanara. Akhirnya Belanda dan prajuritnya mundur sejauh 500 meter untuk menghindari pertempuran.
I Gusti Ngurah Rai dan prajuritnya memanfaatkan kesempatan ini untuk melarikan diri dari kepungan musuh. Dalam perjalanan melarikan diri, tiba-tiba Belanda mengirimkan pesawat untuk memburu I Gusti Ngurah Rai dan prajuritnya. Untuk terakhir kalinya I Gusti Ngurah Rai berteriak “Puputan!”, artinya habis-habisan. I Gusti Ngurah Rai dan prajuritnya melawan Belanda sampai titik darah penghabisan.
Dalam peristiwa heroik itu, I Gusti Ngurah Rai beserta 69 anggota pasukannya tewas akibat serangan pasukan Belanda. Sementara itu, sekitar 400 orang tewas dalam perang di kubu lawan. Namun masyarakat tidak berhenti berjuang ketika upaya Belanda kembali gagal setelah Indonesia kembali menjadi negara kesatuan pada tahun 1950.
Sebab, pada tanggal 8 Maret 1950, pemerintah RIS dengan persetujuan DPR dan Senat RIS mengeluarkan Undang-Undang Darurat No. 11 Tahun 1950 tentang Tata Cara Perubahan Susunan Kenegaraan RIS. Dengan undang-undang ini, negara-negara atau daerah otonom seperti Jawa Timur, Jawa Tengah, dan Madura bergabung dengan Negara Kesatuan Republik Indonesia di Yogayakarta.
Setelah itu semakin banyak negara bagian atau teritori yang bergabung dengan Negara Kesatuan Republik Indonesia, sehingga sejak tanggal 22 April 1950 terdapat tiga negara bagian RIS, yaitu Negara Republik Indonesia, Negara Sumatera Timur, dan Negara Indonesia Timur. Sejak saat itu, masyarakat Bali memperingati Hari Puputan Margarana setiap tanggal 20 November, mengenang para pahlawan yang gugur membela rakyat dan negaranya.
8. Agresi militer Belanda I
Agresi militer Belanda I dipicu oleh penolakan Republik Indonesia terhadap tuntutan Belanda, antara lain kewajiban Republik Indonesia mengirimkan beras dan penyelenggaraan gendarmie (keamanan dan ketertiban bersama).
Serangan ini dilakukan pada tanggal 21 Juli 1947 dan menyasar kota-kota terpenting, perkebunan dan kawasan pertambangan di Pulau Jawa. Tujuan Belanda menyerang RI adalah untuk menghancurkan RI. Untuk itu Belanda tidak bisa melakukan semuanya sekaligus, sehingga sebagai langkah awal Belanda harus mencapai tujuan tersebut.
Pada tanggal 30 Juli 1947, pemerintah India dan Australia mengajukan permintaan resmi agar persoalan Indonesia segera dimasukkan dalam agenda Dewan Keamanan PBB. Hal itu diterima dan dimasukkan dalam agenda pembahasan di Dewan Keamanan PBB. India membela Indonesia demi kepentingan solidaritas Asia, terutama setelah konferensi internasional bulan Maret 1947 di New Delhi yang diikuti oleh Indonesia.
Selain itu, hubungan Indonesia dan India yang baik berkat Kebijakan Beras Syahrir (1946-1947), yaitu india membantu India yang menderita kelaparan dengan mengirimkan 700.000 ton beras. Komisi konsuler dalam laporannya kepada Dewan Keamanan PBB mencatat bahwa sejak 30 Juli 1947 hingga 4 Agustus 1947, pasukan Belanda terus melakukan serangan militer.
Setelah beberapa minggu melakukan pertimbangan, akhirnya pada tanggal 25 Agustus 1947, Dewan Keamanan PBB menerima usulan Amerika Serikat sebagai keputusan. Usulan AS adalah membentuk Committee of Good Officer (Komisi Jasa-Jasa Baik) untuk membantu kedua belah pihak menyelesaikan perselisihan tersebut. Berdasarkan keputusan Dewan Keamanan PBB tanggal 18 September 1947, Belanda memilih Belgia, Republik Indonesia memilih Australia, dan kedua negara memilih negara ketiga yaitu Amerika Serikat.
Commission of Good Services, selanjutnya KTN (Komisi Tiga Negara), yang beranggotakan Dr. Frank Graham (AS), Paul Van Zeelan (Belgia) dan Richard Kirby (Australia). Sebelum berdirinya KTN dan belum masuk ke Indonesia, Belanda tetap melanjutkan aktivitasnya yang merugikan Indonesia. KTN berhasil memaksa Belanda untuk memulai perundingan dengan Indonesia, yaitu perundingan Linggarjati.
9. Agresi militer Belanda II
Agresi militer Belanda II dimulai pada tanggal 19 Desember 1948, ketika Belanda melancarkan serangannya yang kedua terhadap Indonesia. Latar belakangnya adalah penolakan Belanda terhadap hasil Perjanjian Renville karena Belanda tidak mau lagi terikat dengan Perjanjian Renville.
Serangan dimulai dengan pasukan terjun payung turun ke Pangkalan Udara Maguwo dan merebut ibu kota, Yogyakarta. Presiden Soekarno dan Wakil Presiden Mohammad Hatta memutuskan untuk tetap tinggal di ibu kota. Akan tetapi, Soekarno Hatta bersama beberapa menteri dan S. Suryadarma berhasil ditawan Belanda.
Sebelum Belanda tiba di istana, Soekarno mengutus Mr. Syafrudin Prawiranegara berkunjung ke Sumatera untuk membentuk Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI). Tujuan peralihan pemerintahan ini adalah untuk mencegah kelambatan Republik Indonesia dan menyusun strategi melawan Belanda.
Dalam waktu sebulan, pasukan TNI mampu bersatu dan melancarkan serangan berkala kepada musuh. Pasukan TNI mulai mengadakan serangan umum terhadap kota-kota yang diduduki Belanda, dan pada tanggal 1 Maret 1949, serangan umum ke kota Yogyakarta dipimpin oleh Letkol Soeharto.
10. Serangan umum 1 Maret
Serangan Umum 1 Maret adalah serangan yang dilancarkan pada tanggal 1 Maret 1949. Peristiwa itu bermula ketika Belanda menduduki Yogyakarta yang berstatus ibu kota Negara Republik Indonesia. Saat itu ibu kota negara dipindahkan dari Jakarta ke Yogyakarta karena situasi berbahaya pasca proklamasi kemerdekaan dari Indonesia.
Kondisi Yogyakarta sebagai ibu kota sangat tidak kondusif sebelum terjadinya serangan umum pada tanggal 1 Maret 1949. Penyebabnya adalah Belanda telah menyebarkan propaganda ke dunia internasional bahwa Negara Republik Indonesia telah hancur dan tentara Indonesia sudah ada lagi.
Letkol Wiliater Hutagalung yang merupakan penasehat Gubernur Militer III kemudian mengajukan suatu gagasan yang diterima oleh Panglima Soedirman dan dibahas bersama, yaitu:
1. Melakukan serangan secara serentak di seluruh wilayah Divisi III, yang melibatkan Wehrkreise I, II, dan III;
2. Mengerahkan seluruh potensi militer dan sipil di bawah Gubernur Militer III;
3. Mengadakan serangan terhadap satu kota besar di wilayah Divisi III;
4. Melakukan koordinasi dengan Divisi II agar memperoleh efek lebih besar;
5. Serangan yang dilakukan harus diketahui dunia internasional
6. Serangan yang dilakukan harus mendapatkan dukungan dari Wakil Kepala Staf Angkatan Perang agar dapat berkoordinasi dengan pemancar radio milik Angkatan Udara Republik Indonesia (AURI), Koordinator Pemerintah Pusat, dan Pendidikan Politik Tentara (PEPOLIT) Kementerian Pertahanan.
Setelah dilakukan perundingan, gagasan yang diajukan Hutagalung, atau “serangan besar-besaran” terhadap kota metropolitan, akhirnya diterima. Namun Kolonel Bambang Sugeng yang menjabat Panglima III/GM III yakin Yogyakarta harus diserang. Alasan penting yang disampaikan Kolonel Bambang Sugeng memilih Yogyakarta sebagai tujuan utama yaitu:
1. Yogyakarta adalah ibu kota Negara Kesatuan Republik Indonesia yang akan mempunyai pengaruh yang besar bagi perjuangan Indonesia apabila dapat direbut walaupun hanya beberapa jam saja;
2. Jumlah wartawan asing di Hotel Merdeka Yogyakarta;
3. Masih terdapat anggota delegasi United Nations Commission for Indonesia (UNCI) dan pengamat militer PBB;
4. Yogyakarta merupakan wilayah III/GM III, sehingga tidak diperlukan persetujuan dari panglima atau gubernur militer lainnya;
5. Semua kekuatan memahami dan mengendalikan situasi di wilayah operasi.
Sri Sultan Hamengkubuwana IX yang menjabat sebagai penguasa Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat kemudian mengirimkan surat kepada Panglima TNI Jenderal Soedirman untuk mengizinkan penyerangan tersebut. Jenderal Soedirman menerima permintaan tersebut.
Ia kemudian meminta Sultan Hamengkubuwana IX mengoordinasikan penyerangan tersebut dengan Letkol Soeharto yang saat itu menjabat sebagai Komandan Brigade 10/Wehrkreise III. Serangan Umum 1 Maret mempunyai tiga tujuan yakni politik, psikologis dan militer.
Secara politik, serangan ini bertujuan untuk mendukung perjuangan perwakilan Indonesia di Dewan Keamanan PBB yang dipimpin oleh Lambertus Nico Palari melawan kampanye Belanda yang serangan militernya di Indonesia berhasil. Di sisi lain, posisi TNI dan gerilyawan saat itu tidak terlalu hancur. Posisi Indonesia sudah lemah.
Secara psikologis, serangan ini bertujuan untuk meobarkan semangat juang rakyat dan TNI. Tujuan penyerangan ini adalah untuk memulihkan, meningkatkan, dan meningkatkan kepercayaan masyarakat terhadap TNI. Pasalnya, TNI tetap setia pada misinya dan terus berjuang gigih untuk mengusir musuh. Dengan terjadinya penyerangan umum pada tanggal 1 Maret 1949 diharapkan dapat merangsang perjuangan untuk meningkatkan perlawanan.
Secara militer, serangan ini bertujuan untuk membuktikan kepada dunia internasional bahwa TNI masih merupakan suatu kesatuan yang utuh dan sistematis. TNI dapat melakukan perlawanan secara terkoordinasi dan terkonsentrasi serta bertekad setia kepada NKRI. Selain itu, penyerangan umum tanggal 1 Maret 1949 juga membuktikan bahwa kehadiran Belanda di kota Yogyakarta adalah tindakan yang tidak sah.
Pasukan yang terdiri dari TNI dan berbagai kelompok masyarakat menyiapkan rencana serangan balik terhadap tentara Belanda. Setelah direncanakan dengan matang, pada tanggal 1 Maret 1949, tepat pukul 06.00 WIB, sirene dibunyikan pertanda dimulainya penyerangan.
Pada saat yang sama, serangan besar-besaran dilakukan di dalam dan sekitar Yogyakarta. Tujuan utamanya adalah menyerang titik konsentrasi utama musuh yaitu Benteng Vredeburg, Kantor Pos, Istana Kepresidenan, Hotel Tugu, Stasiun Kereta Api dan Kotabaru.
Dalam penyerangan ini, Letkol Soeharto memimpin pasukan dari sektor barat hingga perbatasan Malioboro. Sedangkan sektor timur dipimpin oleh Ventje Sumual, sektor selatan dipimpin oleh Mayor Sardjono, sektor utara dipimpin oleh Mayor Kusno, dan sektor perkotaan dipimpin oleh Letnan Amir Murtono dan Letnan Masduki. Serangan massal tak terduga mengepung pasukan gerilya Belanda dan Indonesia mampu menguasai kota dalam beberapa jam.
Pukul 11.00 WIB bala bantuan musuh baru datang dari Magelang, Yogyakarta, terdiri dari satu batalyon infanteri Brigade V, terdiri dari pasukan Netherland Indies Civil Administration (NICA) atau pasukan sekutu, dan pasukan Gajah Merah yang dipimpin oleh Kolonel Van Zaten. Setibanya bala bantuan tersebut, gerilyawan Indonesia segera menarik pasukannya dari kota, berhasil menguasai kota Yogyakarta selama kurang lebih enam jam.
Berita keberhasilan penyerangan umum tanggal 1 Maret 1949 disiarkan melalui jaringan radio AURI kode PC-2 di Playen, Wonosar, Gunungkidul, menyiarkan jaringan radio Sumatera AURI. Selain itu, berita tersebut menyebar ke luar negeri melalui Burma dan diangkat oleh pemancar All Indian Radio hingga akhirnya sampai ke perwakilan Indonesia di PBB di New York, AS.
Kejadian ini juga menyebar melalui jaringan radio pemerintah Indonesia Wonosari dan Balong hingga stasiun radio PDRI di Sumatera . Setelah mendengar ketidakmampuan prajurit dalam menghalau serangan umum yang dilancarkan TNI dan gerilyawan pada tanggal 1 Maret 1949, Jenderal Meyer, Kolonel Van Langen dan Residen Stock menemui Sultan untuk memintanya berhenti membantu gerilyawan. Namun sultan menolak.
Akibat penyerangan umum tanggal 1 Maret 1949, pasukan Brigade T yang dipimpin oleh Kolonel Van Langen yang menguasai wilayah Yogyakarta melancarkan serangan balik terhadap posisi TNI dan gerilyawan. Serangan pertama dilancarkan pada tanggal 10 Maret 1949 terhadap lapangan terbang Wonosari Gading. Selain manuver, pasukan terjun payung dan 20 pesawat Dakota ikut serta dalam penyerangan tersebut.
Menurut Belanda, penyerangan ke Wonosari adalah persoalan hidup dan mati. Oleh karena itu Belanda juga melibatkan redaktur Majalah Pierreboom, namun hasilnya tidak bermanfaat karena tidak ada pemuda TNI di Wonosari seperti yang mereka duga. Belanda kemudian meningkatkan patrolinya di wilayah yang dikuasai TNI dan gerilyawan, namun selalu menghadapi perlawanan yang kuat.
Salah satu contohnya adalah konvoi Belanda yang dihadang pada tanggal 15 Maret 1949 oleh satuan pleton Zahid Husein TP Batalyon 151. Konvoi melewati Seruti, Desa Madurejo, Kecamatan Prambanan. Pertempuran tersebut mengakibatkan ledakan sebuah bren carrier (angkutan serbaguna lintas medan) milik Belanda meledak.
Serangan umum pada tanggal 1 Maret 1949 memberikan dampak yang signifikan terhadap posisi Indonesia di mata internasional. Selain menunjukkan kehadiran TNI yang masih kuat, Indonesia juga memiliki posisi tawar dalam perundingan Dewan Keamanan PBB. Perlawanan singkat ini turut membantah propaganda Belanda yang menyatakan bahwa posisi Indonesia lemah.
Segera setelah kejadian tersebut terjadi penyerangan umum terhadap Surakarta yang menjadi salah satu keberhasilan para pejuang Indonesia. Penyerangan Surakarta menunjukkan kepada Belanda bahwa gerilyawan tidak hanya melakukan penyergapan dan sabotase, namun juga melakukan serangan frontal. Saat itu kota Surakarta dipertahankan oleh pasukan kavaleri, artileri, infanteri, dan komando yang kuat. Serangan umum di Yogyakarta dan Surakarta ini menentukan nasib Belanda di Indonesia
B. Perjuangan diplomasi
Bangsa Indonesia berusaha menunjukkan kepada dunia internasional melalui perjuangan diplomasi bahwa kemerdekaan dan kedaulatan yang diraih bangsa Indonesia patut dibela dan dipertahankan. Berikut beberapa upaya diplomasi bangsa Indonesia untuk mempertahankan kemerdekaannya.
1. Perjanjian Linggarjati
Perjanjian Linggarjati merupakan perundingan antara Indonesia dan Belanda yang berlangsung di Linggarjati, Kuningan, Jawa Barat. Perjanjian Linggarjati berlangsung pada tanggal 10 November 1946. Pihak yang terlibat dalam Perjanjian Linggarjati antara lain: Delegas Indonesia dipimpin oleh Sutan Syahrir. Delegasi Belanda dipimpin oleh Willem Schermerhorn. Pihak Inggris diwakili oleh Lord Killearn sebagai penanggung jawab atau mediator.
Pro-kontra juga mewarnai teks perjanjian. Perjanjian tersebut ditentang oleh beberapa pihak, antara lain PNI, Pasukan Muda Komunis (Acoma), Partai Perempuan, Partai Rakyat Indonesia, Partai Rakyat Jelata , dan laskar Rakyat Jawa Barat. Namun partai politik Perindo, PKI, Partai Buruh, BTI, Partai Katolik, Tentara Rakyat dan Parkindo mendukung kesepakatan tersebut, sedangkan Dewan Pusat Kongres Pemuda memutuskan untuk tetap netral untuk menjaga persatuan antar organisasi.
Isi Perjanjian Linggarjati:
1. Belanda mengakui secara de facto wilayah Republik Indonesia, yaitu Sumatera, Jawa dan Madura.
2. Belanda harus meninggalkan wilayah Indonesia paling lambat tanggal 1 Januari 1949.
3. Republik Indonesia dan Belanda sepakat membentuk negara Republik Indonesia Serikat (RIS), dimana salah satu bagiannya adalah Republik Indonesia.
4. Dalam bentuk RIS, Indonesia harus tergabung dalam persemakmuran Indonesia-Belanda dengan ratu Belanda sebagai ketuanya.
Pemerintah meningkatkan kekuasaan KNIP dengan dukungan Perjanjian Linggarjati. peraturan pemerintah no. 6 pada Desember 1946 yang mencakup penambahan anggota KNIP, Perjanjian Linggarjati mendapat tentangan keras dari pihak yang menolaknya. Namun, sidang paripurna KNIP tetap akan menghasilkan 232 anggota baru KNIP dan persetujuan kesepakatan Linggarjati dapat dilanjutkan.
Terlepas dari pro-kontra Perjanjian Linggarjati, Indonesia ingin menandatanganinya karena alasan berikut:
1. Bangsa Indonesia meyakini bahwa cara terbaik dan pasti untuk mencapai tujuan nasional adalah melalui perdamaian.
2. Tindakan damai akan mendapat dukungan simpatik dari pihak internasional.
3. Terdapat peluang untuk memperkuat militer Indonesia yang lemah.
4. Cara paling tepat untuk mengakui kedaulatan adalah dengan memilih jalan diplomasi.
Hubungan Indonesia dan Belanda tidak membaik bahkan setelah penandatanganan Perjanjian Linggarjati. Pada tanggal 27 Mei 1947, Belanda mengajukan nota kepada pemerintah Indonesia melalui delegasi Idenburg dan diminta memberikan tanggapan dalam waktu dua minggu.
Isi catatannya adalah sebagai berikut:
1. Sebuah pemerintahan transisi bersama dapat dibentuk.
2. Tetapkan batas demiliterisasi.
3. Untuk dapat membangun sistem pertahanan yang modern, diperlukan bagian dari angkatan darat, laut dan udara Kerajaan Hindia Belanda di Indonesia.
4. Perlindungan kepentingan nasional dan asing dipastikan dengan pembentukan kepolisian.
Perjanjian Linggarjati juga mempunyai pengaruh positif dan negatif bagi Indonesia. Berikut merupakan pengaruh dari Perjanjian Linggarjati antara lain:
• Pengaruh positif:
1.) Citra Indonesia di mata dunia internasional semakin menguat ketika Belanda mengakui kemerdekaan Indonesia dan mendorong negara-negara lain untuk secara sah mengakui kemerdekaan Republik Indonesia.
2.) Belanda mengakui wilayah Republik Indonesia seperti Jawa, Madura, dan Sumatera. Dengan demikian, wilayah tersebut dikuasai oleh Indonesia secara de facto.
3.) Berakhirnya konflik Belanda-Indonesia (walaupun Belanda kemudian melanggar perjanjian). Saat itu, konfrontasi antara rakyat Indonesia dan pasukan Belanda dikhawatirkan akan terus berlanjut. Sehingga lebih banyak korban di kalangan masyarakat. Hal ini tentu saja disebabkan oleh canggihnya kekuatan militer Belanda dan kekuatan bangsa Indonesia saat ini.
• Pengaruh negatif:
1.) Indonesia hanya mempunyai wilayah yang sangat kecil: Jawa, Sumatra, dan Madura. Selain itu, Indonesia harus bergabung dengan Persemakmuran Indo-Belanda.
2.) Hal ini mungkin memberi Belanda waktu untuk menjadi lebih kuat sebelum melanjutkan serangan militernya.
3.) Hal ini mungkin memberi Belanda waktu untuk menjadi lebih kuat sebelum melanjutkan serangan militernya.
4.) Dalam perundingan tersebut timbul kecurigaan bahwa seorang pemimpin yang ditunjuk bernama Sutan Syahrir mendukung Belanda. Oleh karena itu, anggota kabinet Sosialis dan KNIP mengambil langkah-langkah untuk menarik dukungan dari para perunding. Pada tanggal 26 Juni 1947, dukungan Sutan Syahrir ditarik.
2. Perundingan renville
Agresi Militer Belanda I menimbulkan reaksi keras di dunia internasional, terutama di forum PBB. Dalam upaya mencari solusi damai, Dewan Keamanan PBB membentuk Komisi Tiga Negara (KTN). Negara anggota KTN yakni Australia pilihan Indonesia, Belgia pilihan Belanda, Amerika Serikat pilihan Indonesia dan Belanda. KTN kemudian mengusulkan untuk mengadakan perundingan di atas kapal USS Renville (kapal laut Amerika Serikat) yang berlabuh di Teluk Jakarta. Oleh karena itu, perjanjian ini dinamakan Perjanjian Renville.
Pihak yang terlibat dalam Perjanjian Renville Antara lain: Delegasi Indonesia dipimpin Mr. Amir Syarifuddin Harahap. Delegasi Belanda dipimpin oleh Raden Abdul Kadir Widjojoatmodjo. KTN diwakili oleh Sir Richard Kirby (Australia), Paul Guillaume van Zeeland (Belgia) dan Frank Porter Graham (Amerika Serikat) selaku mediator perjanjian.
Isi Perjanjian Renville:
1. Penghentian tembak-menembak.
2. Belanda hanya mengakui Jawa Tengah, Yogyakarta dan Sumatera sebagai wilayah Republik Indonesia.
3. Disetujuinya sebuah garis demarkasi yang memisahkan wilayah Indonesia dan wilayah pendudukan Belanda.
4. TNI harus ditarik mundur dari daerah pendudukan Belanda di Jawa Barat dan Jawa Timur.
5. Belanda bebas membentuk negara-negara federal di daerah-daerah yang didudukinya dengan masa peralihan terlebih dahulu.
Akibat Perjanjian Renville, wilayah Indonesia menjadi semakin sempit dan sangat merugikan. Tentara dari Jawa Barat harus pindah ke Jawa Tengah dalam peristiwa yang dikenal dengan peristiwa Long March Siliwangi. Bahkan ibu kota negara juga harus berpindah dari Jakarta karena tidak lagi menjadi wilayah kekuasaan Indonesia. Hal ini memunculkan rasa kecewa dan membuat munculnya perlawanan di berbagai daerah.
Bahkan Perdana Menteri Amir Sjarifuddin mengundurkan diri pada 23 Januari 1948 karena dianggap tidak mampu mempertahankan wilayah kedaulatan Indonesia. Akhirnya Belanda kembali melanggar Perjanjian Renville dengan melancarkan Agresi militer Belanda ll. Peristiwa tersebut ditandai dengan pengeboman Bandara Maguwo Yogyakarta pada tanggal 18 Desember 1948.
3. Perjanjian Roem-Royen
Untuk mengatasi Agresi militer Belanda ll, PBB mengadakan sidang pada tanggal 22 Desember 1948 dan menyusun resolusi yang menuntut segera diakhirinya permusuhan antara Indonesia dan Belanda serta segera membebaskan para pemimpin Indonesia yang ditangkap.
KTN bertugas memantau pelaksanaan resolusi tersebut. Untuk memperluas otoritas nya, oleh karena itu, KTN berganti nama menjadi UNCI (United Nations Commission for Indonesia) dan diketuai oleh Merle Cochran. UNCI memimpin perundingan antara Republik Indonesia dan Belanda pada tanggal 17 April 1949. Perundingan ini berlangsung di Hotel Des Indes, Jakarta.
Pada Perjanjian Roem-Royen, delegasi Indonesia dipimpin oleh Mr. Mohammad Roem dan delegasi Belanda dipimpin oleh Dr. Jan Herman van Roijen. Oleh karena itu, perjanjian ini dinamakan Perjanjian Roem-Royen. Dari UNCI diwakili oleh Merle Cochran sebagai moderator perundingan.
Isi perjanjian ini sebenarnya lebih merupakan pernyataan kesiapan untuk berdamai antar pihak. Dalam perjanjian tersebut, delegasi Republik Indonesia menyatakan kesiapannya untuk:
1. Mengeluarkan perintah kepada “pengikut Republik yang bersenjata” untuk menghentikan perang gerilya.
2. Bekerjasama mengembalikan perdamaian dan menjaga ketertiban dan keamanan.
3. Turut serta dalam KMB di Den Haag, dengan maksud untuk mempercepat penyerahan kedaulatan yang sungguh dan lengkap kepada Negara Indonesia Serikat dengan tidak bersyarat.
Sedangkan pihak delegasi Pemerintah Belanda saat itu menyatakan kesediaannya untuk:
1. Menyetujui kembalinya pemerintahan Indonesia ke Yogyakarta.
2. Menjamin penghentian gerakan-gerakan militer dan membebaskan semua tahanan politik.
3. Tidak akan mendirikan atau mengakui negara-negara yang ada di daerah yang dikuasai oleh Republik Indonesia sebelum 19 Desember 1949, dan tidak akan meluaskan negara atau daerah dengan merugikan Republik.
4. Menyetujui adanya Republik Indonesia sebagai bagian dari Negara Indonesia Serikat.
5. Berusaha dengan sesungguh-sungguhnya supaya KMB segera diadakan setelah pemerintah Republik kembali ke Yogyakarta.
Pada tanggal 22 Juni, sebuah pertemuan lain diadakan dan menghasilkan keputusan:
1. Kedaulatan akan diserahkan kepada Indonesia secara utuh dan tanpa syarat sesuai perjanjian Renville pada 8 desember 1947.
2. Belanda dan Indonesia akan mendirikan sebuah persekutuan dengan dasar sukarela dan persamaan hak.
3. Hindia Belanda akan menyerahkan semua hak, kekuasaan, dan kewajiban kepada Indonesia.
Pada tanggal 6 Juli, Sukarno dan Hatta kembali dari pengasingan ke Yogyakarta, ibu kota sementara Republik Indonesia. Pada tanggal 13 Juli, Kabinet Hatta mengesahkan Perjanjian Roem-Royen dan pada tanggal 22 Desember 1948, Mr. Sjafruddin Prawiranegara yang menjabat sebagai presiden PDRI menyerahkan kembali mandatnya kepada Soekarno, secara resmi keberadaan PDRI 13 Juli 1949 berakhir. Gencatan senjata antara Belanda dan Indonesia dimulai pada tanggal 3 Agustus di Jawa (11 Agustus) dan Sumatera (15 Agustus).
4. Konferensi Meja Bundar
Konferensi Meja Bundar (KMB) adalah pertemuan yang diadakan di Den Haag, Belanda, pada tanggal 23 Agustus hingga 2 November 1949. Konferensi Meja Bundar merupakan kelanjutan dari perundingan sebelumnya. Konferensi ini menjadi titik terang bagi bangsa Indonesia dalam upaya mempertahankan kemerdekaannya.
Delegasi Indonesia dipimpin oleh Drs. Mohammad Hatta. Sedangkan delegasi Belanda dipimpin oleh Johannes Henricus van Maarseveen. Perundingan kali ini juga dihadiri oleh BFO (Bijeenkomst voor Federale Overleg) yakni badan yang merupakan kumpulan negara-negara bagian bentukan Belanda. BFO diwakili oleh Sultan Hamid ll. UNCI diwakili oleh Tom Critchley.
Hasil KMB:
1. Belanda mengakui RIS sebagai negara yang merdeka dan berdaulat.
2. Pengakuan kedaulatan dilakukan se selambat-lambatnya 30 Desember 1949. 3. Masalah Irian Barat akan diadakan perundingan lagi dalam 1 tahun setelah pengakuan kedaulatan RIS.
4. Antara RIS dan Kerajaan Belanda akan diadakan hubungan Uni Indonesia-Belanda yang dikepalai oleh Ratu Belanda.
5. RIS harus membayar hutang Belanda sejak 1942.
Di Belanda, tempat penyerahan kedaulatan adalah ruang tahta di Amsterdam. Indonesia diwakili oleh Mohammad Hatta dan Belanda oleh Ratu Juliana, Perdana Menteri Dr. Willem Dress dan Menteri Luar Negeri Mr. Emmanuel Marie Joseph Antony "Maan" Sassen. Sedangkan Di Indonesia, tempat penyerahan kedaulatan berada di Istana Merdeka, Indonesia. Wakil Indonesia adalah Sultan Hamengkubuwono IX. Sementara itu, Belanda diwakili oleh Antonius Hermanus Johannes Lovink sebagai Wakil Tinggi Mahkota Belanda.
Kaum nasionalis Indonesia tidak setuju pada beberapa poin dalam perjanjian tersebut, seperti sifat negara, peran dominan negara otonom Belanda yang merdeka, utang, dan permasalahan West New Guinea. Akhirnya pada tanggal 21 April 1956, Parlemen Indonesia membatalkan Perjanjian Den Haag.
C. Perkembangan politik Indonesia pada masa kemerdekaan
Berbagai gejolak politik terjadi pada masa kemerdekaan. Mulai dari perubahan bentuk bumi hingga gangguan keamanan dalam negeri. Berikut beberapa peristiwa politik Indonesia yang terjadi pada masa kemerdekaan.
1. RIS
Sumber gambar: https://id.m.wikipedia.org/wiki/Republik_Indonesia_Serikat
Berdasarkan hasil konferensi meja bundar tersebut, bentuk NKRI diubah menjadi Republik Indonesia Serikat (RIS). RIS didirikan pada tanggal 27 Desember 1949 dan konstitusinya adalah Undang-Undang Dasar Sementara. Yang tergabung dalam Federasi RIS adalah sebagai berikut.
1. Negara bagian meliputi: Negara Indonesia Timur, Negara Pasundan, Negara Jawa Timur, Negara Madura, Negara Sumatra Selatan, Negara Sumatra Timur, dan Republik Indonesia.
2. Satuan-satuan kenegaraan meliputi: Kalimantan Barat, Kalimantan Timur, Kalimantan Tenggara, Banjar, Dayak Besar, Bangka, Belitung, Riau, dan Jawa Tengah.
3. Daerah Swapraja meliputi Kota Waringin, Sabang, dan Padang.
2. Kembali ke NKRI
Bentuk Negara Republik Indonesia Serikat (RIS) rupanya tidak sesuai dengan cita-cita persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia. Oleh karena itu, muncullah gerakan-gerakan untuk mengubah bentuk negara kembali menjadi Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Masyarakat di negara bagian melakukan demonstrasi untuk membubarkan RIS dan menuntut kembali ke NKRI. RIS akhirnya bubar berganti menjadi Republik Indonesia pada 17 Agustus 1950. Pada saat yang sama, kabinet RIS yang dipimpin oleh Mohammad Hatta berakhir tugasnya.
D. Gangguan keamanan
Selain gejolak dalam bentuk negara dan pemerintahan, Indonesia juga mengalami beberapa gangguan keamanan pada masa kemerdekaan. Beberapa di antaranya adalah sebagai berikut.
1. Pemberontakan PKI Madiun
Pemberontakan ini terjadi pada tanggal 18 September 1948 di bawah pimpinan Muso. Tujuan pemberontakan PKI Madiun adalah mengganti prinsip negara Pancasila dengan komunis dan mendirikan Negara Republik Indonesia Soviet.
2. Pemberontakan DI/TII (Daarul Islam/Tentara Islam Indonesia)
Pemberontakan DI/TII merupakan gerakan yang ingin mendirikan negara Islam di Indonesia. Pemberontakan ini terjadi dibeberapa daerah di Indonesia antara lain:
a. Jawa Barat
Pemberontakan DI/TII di Jawa Barat dipimpin oleh Kartosuwiryo pada tanggal 7 Agustus 1949. Pemberontakan DI/TII di Jawa Barat disebabkan oleh ketidakpuasan Kartosuwiryo terhadap kemerdekaan Republik Indonesia (RI).
Saat itu kemerdekaan Indonesia dibayangi oleh kehadiran Belanda yang ingin menguasai Indonesia, terutama setelah ditandatanganinya Perjanjian Renville pada tahun 1948. Menurut Kartosuwiryo, perjanjian tersebut dinilai tidak melindungi warga Jabar. Alhasil, Kartosuwiryo memutuskan untuk mendirikan negara Islam, Negara Islam Indonesia (NII) yang dipimpinnya sendiri.
Sejak saat itu, gerakan NII semakin berkembang, terutama setelah mendapat dukungan dari daerah lain yang juga merasa tidak puas dengan NKRI. Kartosuwiryo mengumumkan pembentukan NII melalui Keputusan Pemerintah No. II/7 yang sekaligus menyatakan bahwa tanggal 17 Agustus 1945 adalah berakhirnya kehidupan Indonesia.
Untuk mengatasi pemberontakan ini, pemerintah mengeluarkan Peraturan No. 59/1958 yang berisi tentang pemberantasan DI/TII. Salah satu pilihannya adalah dengan mengerahkan Kodam Siliwangi dan menggunakan taktik Pagar Betis untuk mempersempit ruang gerak DI/TII. Kartosuwiryo kemudian ditangkap oleh Letnan Suhanda, pimpinan Batalyon C 328 Kujang II/Siliwangi.
b. Jawa Tengah
Pemberontakan DI/TII terjadi di Jawa Tengah yang dipimpin oleh Amir Fatah. Pemberontakan DI/TII di Jawa Tengah berlanjut sekitar tahun 1949-1950 yang disebabkan oleh ketidakpuasan masyarakat terhadap penandatanganan Perjanjian Renville.
Amir Fatah dan masyarakat Jawa Tengah menilai perjanjian ini lebih merugikan Indonesia, salah satunya perselisihan di wilayah Pekalongan,Jawa Tengah. Akhirnya pada tanggal 23 Agustus 1949, Amir Fatah dan kelompoknya memutuskan untuk bergabung dengan NII yang dipimpin oleh Kartosuwiryo.
Sejak saat itu, Amir Fatah langsung melancarkan beberapa serangan terhadap TNI dan beberapa desa seperti desa Rokeh Djati dan Pagerbarang. Namun, sebelum pemberontakan DI/TII terjadi di Jawa Tengah, gerakan serupa Tentara Hizbullah pimpinan Abbas Abdullah sudah ada.
Untuk memadamkan pemberontakan tersebut, TNI membentuk Gerakan Benteng Nasional (GBN) yang dipimpin oleh Letkol Sarbini, Letkol Bachrum, dan Letkol Ahmad Yani. Dalam proses penangkapan, pasukan Hizbullah berhasil menghindar dari penangkapan oleh TNI. Namun pada 22 Desember 1950, mereka ditangkap saat berada di Desa Cisayong, Tasikmalaya. Amir Fatah juga ditangkap dan dipenjara selama dua tahun.
c. Sulawesi Selatan
Pada tahun 1950, terjadi pemberontakan DI/TII di Sulawesi Selatan yang dipimpin oleh Kahar Muzakkar, pemimpin Komando Gerilya Sulawesi Selatan (KGSS). Pemberontakan ini berlangsung cukup lama di Sulawesi Selatan, yaitu pada tahun 1950 hingga tahun 1965.
Pemberontakan DI/TII di Sulawesi Selatan disebabkan oleh perbedaan pendapat antara pemerintah dan Kahar Muzakkar mengenai reorganisasi APRIS/TNI. Sebagai Ketua KGSS, Muzakkar berpesan kepada seluruh anggotanya untuk mendaftar ke Tentara Nasional Indonesia (APRIS).
Namun pada akhirnya, banyak dari mereka yang ditolak menjadi anggota APRIS karena dianggap tidak memenuhi syarat. Kecewa dengan keputusan APRIS, Kahar Muzakkar mulai melakukan pemberontakan, pemberontakan pertama terjadi pada tahun 1950-1952 dan pemberontakan kedua pada tahun 1953-1965.
Untuk menumpas pemberontakan tersebut, TNI melancarkan operasi militer yang disebut Operasi Bharatayudha. Operasi Bharatayudha memakan waktu yang cukup lama yakni sekitar 12 tahun untuk menuntaskan pemberontakan DI/TII. Namun Kahar Muzakkar akhirnya berhasil ditembak mati, menandai berakhirnya pemberontakan DI/TII di Sulawesi Selatan.
d. Kalimantan Selatan
Pemberontakan DI/TII Kalimantan Selatan yang dipimpin oleh Ibnu Hadjar. Penyebab pemberontakan itu adalah ketidakpuasan Ibnu Hadjar terhadap reorganisasi TNI, salah satunya Divisi ALRIS IV, kelompok tempatnya bertugas. Pasalnya, reorganisasi tersebut berujung pada pemecatan beberapa anggota ALRIS IV, termasuk Ibnu Hadjar, karena tidak memenuhi syarat.
Dari sinilah awal mula kekecewaan Ibnu Hadjar. Dia kemudian membentuk pasukan gerilyanya sendiri yang disebut Kesatuan Rakyat yang Tertindas. Ia mengorganisir serangan pertama terhadap satuan militer di Kalimantan Selatan pada bulan Maret 1950. Pada saat yang sama, jumlah pasukan Ibnu Hadjar bertambah dari 60 menjadi 250 orang.
Menyikapi hal tersebut, pemerintah tetap sopan dan menerima Ibnu Hadjar yang kemudian menyerah. Bahkan, dia diterima kembali di APRIS. Setelah mendapat persenjataan lengkap, Ibnu Hadjar melarikan diri dan melanjutkan pemberontakan. Ibnu Hadjar bersembunyi di hutan untuk menghindari kejaran TNI.
Namun setelah mendapat janji pengampunan, Ibnu Hadjar rela menyerahkan diri pada tahun 1963. Ia ditahan selama dua tahun sebelum dikirim ke Jakarta untuk diadili oleh pengadilan militer pada 11 Maret 1965. Putusan akhir adalah Ibnu Hadjar dijatuhi hukuman mati. Ia pun meninggal pada 22 Maret 1965.
e. Aceh
Pada tanggal 20 September 1953 terjadi pemberontakan DI/TII di Aceh yang dipimpin oleh Daud Beureueh. Daud Beureueh adalah pemimpin sipil, agama, dan militer Aceh pada masa Agresi militer Belanda l. Pemberontakan ini diawali dengan dicanangkannya pembentukan NII di bawah pimpinan Kartosuwiryo. Hal ini kemudian didukung oleh rasa frustrasi para tokoh masyarakat Aceh. Salah satu alasan kekesalan mereka adalah Presiden Soekarno dianggap berbohong ketika menjanjikan Aceh bisa menerapkan syariat Islam dan tetap menjadi provinsi Indonesia.
Upaya pemerintah untuk menyelesaikannya dilakukan dengan dua cara, yaitu secara militer dan diplomasi. Operasi militer dilakukan pada Operasi 17 Agustus dan Operasi Merdeka. Pada saat yang sama, diplomasi dilakukan dengan mengirimkan utusan ke Aceh untuk berbicara dengan Daud Beureueh. Pada akhirnya pemerintah pusat memutuskan untuk memberikan otonomi kepada Aceh sebagai provinsi yang disebut Daerah Istimewa Aceh dan menegakkan syariat Islam. Pemberontakan DI/TII tahun 1962 di Aceh diselesaikan melalui perundingan.
E. Perkembangan Ekonomi Indonesia pada Masa Kemerdekaan
Pada masa kemerdekaan, keadaan perekonomian masyarakat Indonesia masih belum stabil. Alasannya adalah masalah keuangan yang muncul saat itu. Hal-hal tersebut antara lain:
1. Masalah inflasi
Beberapa bulan setelah proklamasi kemerdekaan, masyarakat Indonesia mengalami inflasi yang sangat tinggi (hiperinflasi). Inflasi disebabkan oleh pergerakan mata uang Jepang yang tidak terkendali. Untuk mengatasi masalah tersebut, pemerintah memperkenalkan mata uang De Javasche Bank, mata uang pemerintah Hindia Belanda, dan mata uang pendudukan Jepang.
2. Blokade laut
Blokade laut Belanda dimulai pada bulan November 1945. Blokade ini menutup pintu masuk dan keluar perdagangan Indonesia. Akibatnya, produk Indonesia tidak bisa diekspor dan Indonesia tidak bisa menerima barang impor yang sangat dibutuhkan. Upaya yang dilakukan untuk mengatasi permasalahan tersebut adalah sebagai berikut:
a) pelaksanaan program pinjaman nasional;
b) melakukan diplomasi terhadap India;
c) Menjalin hubungan dagang luar negeri langsung.
F. Kehidupan Masyarakat Indonesia pada Masa Kemerdekaan
Kemerdekaan membawa perubahan yang sangat besar dalam kehidupan masyarakat Indonesia. Perubahan-perubahan tersebut adalah sebagai berikut.
1. Sosial
Sebelum kemerdekaan, diskriminasi rasial dilakukan dengan membagi masyarakat ke dalam kelas-kelas. Saat itu masyarakat Indonesia didominasi oleh masyarakat Eropa dan Jepang. Penduduk asli hanyalah orang-orang rendah hati yang bekerja sebagai pegawai para bangsawan dan penguasa. Setelah Indonesia merdeka, segala bentuk diskriminasi rasial dihapuskan dan seluruh warga negara Indonesia dinyatakan mempunyai hak dan tanggung jawab yang sama dalam segala bidang.
2. Pendidikan
Pada masa kolonial, kesempatan pendidikan anak-anak Indonesia sangat terbatas. Hanya sedikit anak usia sekolah yang menikmati sekolah. Oleh karena itu, sesaat setelah kemerdekaan, pemerintah mengangkat Ki Hajar Dewantara sebagai Menteri Pendidikan, Pengajaran, dan Kebudayaan (PP dan K).
3. Kebudayaan
Lagu-lagu nasionalis banyak diciptakan dalam bidang seni antara lain oleh Cornel Simajuntak, Kusbini dan Ismail Marzuki. Lagu-lagu tersebut antara lain Bagimu Negeri, Halo-Halo Bandung, Selendang Sutra dan Maju Tak Gentar.
Itulah Pembahasan kita pada kesempatan kali ini. Kurang lebihnya penulis mohon maaf. Sekian dan terimakasih.
Penulis: Maulana Aditia
Komentar
Posting Komentar