Khulafaur Rasyidin : Generasi terbaik setelah wafatnya Rasulullah
Pengganti Nabi Muhammad adalah isu sentral yang memecah belah komunitas Muslim. Sunni sepenuhnya menerima status politik mereka, sementara Syiah menolak legitimasi tiga khalifah pertama dan mengklaim bahwa Muhammad menunjuk Ali bin Abi Thalib sebagai penggantinya. Siapakah yang dimaksud sebagai pengganti Nabi Muhammad? Mereka adalah Khulafaur Rasyidin.
Khulafaur Rasyidin berasal dari Khulafa' dan Ar-Rasyidin. Khulafa artinya pengikut, sedangkan Ar-Rasyidin artinya diberi petunjuk. Bila digabung, Khulafaur Rasyidin berarti pengikut yang mendapat petunjuk. Khulafaur Rasyidin adalah pemimpin yang siap menggantikan Rasulullah sebagai kepala negara, kepala pemerintahan dan pemimpin umat Islam. Namun, tak semua tugas Nabi tidak bisa digantikan oleh Khulafaur Rasyidin, khususnya tugas para Nabi dan Rasul.
Baca juga:
Khulafaur Rasyidin sudah dijelaskan dalam Al-Qur'an yang berbunyi:
وَا لسّٰبِقُوْنَ الْاَ وَّلُوْنَ مِنَ الْمُهٰجِرِيْنَ وَا لْاَ نْصَا رِ وَا لَّذِيْنَ اتَّبَعُوْهُمْ بِاِ حْسَا نٍ ۙ رَّضِيَ اللّٰهُ عَنْهُمْ وَرَضُوْا عَنْهُ وَاَ عَدَّ لَهُمْ جَنّٰتٍ تَجْرِيْ تَحْتَهَا الْاَ نْهٰرُ خٰلِدِيْنَ فِيْهَاۤ اَبَدًا ۗ ذٰلِكَ الْـفَوْزُ الْعَظِيْمُ
Artinya:"Dan orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) di antara orang-orang Muhajirin dan Ansar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha kepada mereka dan mereka pun rida kepada Allah. Allah menyediakan bagi mereka surga-surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai. Mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Itulah kemenangan yang agung."(QS. At-Taubah surah ke 9: Ayat 100)
Khulafaur Rasyidin merupakan khalifah keempat sahabat Nabi. Sepeninggal Nabi, mereka menjadi Khilafah. Keempat sahabat Rasulullah adalah orang-orang yang menerima dakwah yang diberikan Rasulullah sejak awal. Masyarakat pun memilih keempat sahabat ini berdasarkan musyawarah. Para sahabat yang menjadi khilafah sepeninggal Nabi adalah Abu Bakar Ash-Siddiq, Umar bin Khattab, Utsman bin Affan dan Ali bin Abi Thalib.
Masa pemerintahan Khulafaur Rasyidin merupakan masa yang sangat penting bagi perjalanan Islam. Masa ini disebut masa terbentuknya fikih Islam. Selanjutnya para Sahabat Rasulullah yang menjadi Khalifah setelah Hukum Syariat Islam dikeluarkan Rasulullah, memikul beban dan tanggung jawab yang besar untuk mencari sumber-sumber Syariat. Hal ini perlu dijawab pada masa perkembangan zaman ini, yang tidak ada dalam Al-Qur'an dan Sunnahnya. Bagaimana biografi lengkapnya? Bagaimana pandangan umat Islam tentang Khulafaur Rasyidin? Nilai keteladanan apa yang dapat kita ambil dari mereka? Berikut pembahasannya.
A. Abu Bakar Ash-Shiddiq
Abu Bakar mempunyai nama asli Abdul Ka'bah yang kemudian namanya diganti oleh Nabi Muhammad menjadi Abdullah. Abu Bakar lahir di Makkah pada tahun 573 M dari pasangan Utsman Abu Quhafah ibn Amir dan Salma Ummul Khair binti Sakhar yang berasal dari Bani Taim. Nasab Abu Bakar bertemu dengan Nabi Muhammad pada kakeknya bernama Murrah bin Ka'ab. Abu Bakar berkulit putih, berbadan kurus, berambut tebal, wajahnya tampak tirus, keningnya menonjol, dan sering memakai hinaa dan katm.
Abu Bakar menghabiskan masa kecilnya sebagai anak Arab pada masa itu di tengah suku Badui yang menamakan dirinya Ahl-i-Ba'eer atau Masyarakat Unta. Sewaktu kecil, Abu Bakar sering bermain dengan unta dan kambing, dan kecintaannya pada unta membuatnya mendapat julukan “Abu Bakar” yang berarti bapak unta. Seperti anak-anak lain dari keluarga pengusaha kaya di Makkah, Abu Bakar adalah seorang yang terpelajar (bisa membaca dan menulis) dan menyukai puisi. Abu Bakar biasanya mengikuti pameran Ukaz tahunan dan mengikuti simposium puisi.
Abu Bakar memiliki ingatan yang baik dan pemahaman yang baik tentang silsilah atau asal usul suku-suku Arab, sejarah dan politik mereka. Ketika Abu Bakar masih kecil, ayahnya membawanya ke Ka'bah dan meminta Abu Bakar untuk berdoa kepada berhala tersebut. Setelah itu, sang ayah pergi untuk mengurus urusan lain, meninggalkan Abu Bakar sendirian bersama para berhala. Kemudian Abu Bakar berdoa kepada berhala itu: "Tuhan, aku butuh pakaian, berikan aku pakaian." Berhala itu tetap cuek dan tidak menanggapi permintaan Abu Bakar.
Abu Bakar kemudian berdoa kepada berhala lainnya dan berkata, “Tuhan, berilah aku makanan yang enak, lihat betapa laparnya aku”. Berhala tersebut masih tidak merespon dan acuh tak acuh. Melihat permintaannya tidak dikabulkan, kesabaran Abu Bakar pun habis lalu ia mengambil batu itu dan berkata kepada sang berhala. “Di sini aku mengangkat sebuah batu dan mengarahkannya padamu, jika kamu benar-benar Tuhan, lindungi dirimu sendiri.” Abu Bakar kemudian melempari patung tersebut dengan batu dan meninggalkan Ka'bah. Setelah itu Abu Bakar tidak pernah lagi datang ke Ka'bah untuk menyembah berhala Ka'bah.
Pada usia 10 tahun, Abu Bakar berangkat ke Syam bersama ayahnya dengan kafilah dagang. Nabi Muhammad, yang saat itu berusia 12 tahun, juga berada di dalam kafilah tersebut. Pada tahun 591, Abu Bakar yang saat itu berusia 18 tahun memasuki bisnis tersebut dan bekerja sebagai pedagang kain yang kemudian menjadi bisnis keluarga. Pada tahun-tahun berikutnya, Abu Bakar sering bepergian dengan kafilahnya. Perjalanan bisnisnya membawanya ke Yaman, Suriah dan beberapa tempat lainnya. Perjalanan bisnis ini membuatnya lebih kaya dan memiliki pengalaman bisnis. Usahanya semakin berkembang sehingga berdampak pada status sosial Abu Bakar. Meskipun ayahnya masih hidup, Abu Bakar diakui sebagai kepala sukunya.
Sekembalinya dari perjalanan bisnis ke Yaman, teman-temannya menceritakan kepada Abu Bakar bahwa meskipun ia tidak berada di Makkah, Nabi Muhammad menyatakan dirinya sebagai Utusan Allah. Ketika Nabi Muhammad menikah dengan Khadijah binti Khuwailid, dia pindah untuk tinggal bersama Abu Bakar. Saat itu, Nabi Muhammad menjadi tetangga Abu Bakar. Sejak itu mereka saling mengenal. Mereka berdua seumuran dan hanya lebih muda 2 tahun 1 bulan dari Nabi Muhammad.
Ibnu Jarir ath-Thabari dalam bukunya berjudul Tarikh ath-Thabari mengutip pernyataan dari Muhammad bin Sa'ad bin Abi Waqqash yang pernah menanyakan kepada ayahnya tentang apakah Abu Bakar merupakan orang yang pertama masuk Islam? Jawabannya adalah Tidak, lebih dari 50 orang masuk Islam sebelum Abu Bakar, tapi dia lebih baik sebagai seorang Muslim. Umar bin Khattab masuk Islam setelah 45 laki-laki dan 21 perempuan. Adapun salah satu tokoh terkenal dalam agama Islam dan imannya adalah Ali bin Abi Thalib.
Ibnu Katsir dalam bukunya Al-Bidayah wan Nihayah tidak setuju dengan pendapat di atas. Ia meyakini bahwa wanita pertama yang masuk Islam adalah Khadijah. Zaid bin Haritsah adalah anak pertama yang masuk Islam. Ali bin Abi Thalib merupakan anak pertama yang masuk Islam, karena pada saat itu Ali bin Abi Thalib belum dewasa. Sedangkan bagi laki-laki dewasa dan merdeka, yang pertama masuk Islam adalah Abu Bakar. Tertulis dalam kitab Hayatussahabah bahwa Abu Bakar masuk Islam atas ajakan Nabi. Ketika dia melihat keislamannya, Rasulullah sangat bahagia, di antara dua gunung Makkah tidak ada yang lebih bahagia darinya.
Abu Bakar kemudian menemui Utsman bin Affan, Thalhah bin Ubaidillah, Zubair bin Awwam dan Sa'ad bin Abi Waqqas dan mengajak mereka masuk Islam. Kemudian mereka masuk Islam. Semua anak Abu Bakar masuk Islam kecuali Abdurrahman bin Abi Bakar yang membedakan mereka, meskipun Abdurrahman kemudian menjadi Muslim setelah Perjanjian Hudaibiyyah. Dalam satu malam, Rasulullah melakukan perjalanan kilat dari Makkah menuju Baitul Maqdis dan melanjutkan perjalanan langit dengan segala keajaibannya.
Keesokan harinya, Nabi Muhammad menceritakan kepada masyarakat Makkah apa yang baru saja dialaminya kemarin. Malah tidak banyak lagi yang beriman, malah banyak yang kafir di Makkah. Mereka yang biasa mencela Nabi mulai semakin mengolok-ngoloknya karena mereka mempunyai momen emas untuk menghina Nabi. Parahnya lagi, orang yang lemah imannya menjadi murtad karena dipengaruhi menganggap Nabi Muhammad sebagai pembohong. Dalam situasi kritis seperti itu, Abu Bakar tampil berani dan percaya membenarkan segala perkataan Nabi tanpa ragu. Berdasarkan kejadian tersebut, Nabi menjulukinya Ash-Siddiq.
Sebagaimana yang juga dialami umat Islam pada masa-masa awal. Ia juga disiksa oleh masyarakat Makkah yang sebagian besar masih menyembah berhala nenek moyangnya. Namun penyiksaan terparah dialami oleh golongan budak. Sedangkan golongan non-budak biasanya dilindungi oleh keluarga dan teman-temannya. Hal ini mendorong Abu Bakar untuk membebaskan para budak dengan membeli mereka dari majikannya dan memberikan kebebasan kepada mereka. Salah satu budak yang dibelinya lalu dibebaskan adalah Bilal bin Rabah.
Pada masa Hijrah, ketika Nabi Muhammad hijrah ke Madinah (622 M), Abu Bakar adalah satu-satunya orang yang mengikutinya. Putrinya yakni Aisyah, menikah dengan Nabi Muhammad beberapa waktu setelah hijrah. Abu Bakar juga ikut serta dalam berbagai peperangan seperti Perang Badar (624 M/2 H) dan Perang Uhud (625 M/3 H). Baca juga:Sejarah perjalanan dakwah Rasulullah di Makkah dan Madinah Ketaatannya dalam menerima keputusan Nabi Muhammad dalam Perjanjian Hudaibiyah, meski awalnya banyak sahabat Nabi yang tidak mau menerima perjanjian tersebut karena dianggap sepihak.
Pada masa Nabi Muhammad sakit menjelang kematiannya, dikatakan bahwa Abu Bakar diangkat menjadi imam shalat menggantikannya, banyak yang menganggap hal ini sebagai pertanda bahwa Abu Bakar akan menggantikannya. Bahkan setelah wafatnya Muhammad, Abu Bakar Ash-Siddiq dianggap sebagai sahabat Nabi yang paling terguncang dengan meninggalnya Nabi Muhammad. Tak lama setelah kematiannya, negosiasi diadakan antara pemuka Anshar dan Muhajirin di Tsaqifah Bani Saidah di Madinah, yang akhirnya mengarah pada penunjukan Abu Bakar sebagai pemimpin baru umat Muslim, atau khalifah Muslim pada tahun 632 M.
Menurut Imam As-Suyuth, lima kebijakan penting yang terjadi pada masa Kekhalifahan Abu Bakar, yaitu:
1. Melawan orang-orang murtad (Perang Riddah);
2. Melanjutkan mengirimkan tim yang dipimpin oleh Usamah bin Zaid;
3. Memerangi melawan penentang zakat;
4. Memerangi Musailimah al-Kadzadzab (Ekspedisi Militer Yamamah);
5. Menghimpung Al-Qur’an.
Pada tanggal 23 Agustus 634, Abu Bakar jatuh sakit dan tidak kunjung sembuh. Dia mengalami demam tinggi dan hanya bisa berbaring di tempat tidur. Penyakitnya berkepanjangan dan kondisinya semakin memburuk ia merasa bahwa ajalnya sudah dekat. Menyadari hal tersebut, ia memanggil Ali dan memintanya untuk memandikannya karena Ali juga pernah melakukan hal tersebut kepada Rasulullah. Abu Bakar merasa harus menunjuk penggantinya agar sepeninggalnya tidak terjadi perpecahan di kalangan umat Islam dalam hal tersebut, padahal sudah terjadi kontroversi karena tidak diangkatnya Ali bin Abi Thalib. Umar menunjuknya untuk peran tersebut setelah mendiskusikan masalah tersebut dengan beberapa sahabat.
Abu Bakar kemudian mendiktekan wasiat terakhirnya kepada Utsman bin Affan sebagai berikut.
"Atas nama Tuhan Yang Maha Penyayang. Ini adalah wasiat dan wasiat terakhir Abu Bakar bin Abu Quhafah, pada detik-detik terakhirnya di dunia, dan awal perjalanannya menuju akhirat; yaitu suatu waktu di mana orang-orang yang ingkar akan percaya, dan orang-orang fasik akan meyakini serta melihat hasil dari kejahatan mereka, saya mencalonkan Umar bin al-Khattab sebagai pengganti saya. Karena itu, dengarkan dan patuhilah dia. Jika dia bertindak sesuai kebenaran, maka dukunglah dan itulah yang saya ketahui dari dirinya. Hanya kebaikan yang saya inginkan, tetapi saya tidak bisa melihat hasil di masa depan. Namun, orang-orang yang zalim dan jahat kelak akan mengetahui tempat kembali seperti apa yang akan mereka dapati. Semoga nikmat dan barakah dari Allah senantiasa tercurah kepada kalian"
Abu Bakar Ash-Shiddiq akhirnya wafat pada tahun 634 M, kemudian Umar memimpin shalat Jenazah untuknya dan dia dimakamkan di samping makam Rasulullah.
B. Umar bin Khattab
Umar bin Khattab lahir di Makkah pada tahun 574 M dari pasangan Khattab bin Nufail dan Hantamah binti Hisyam. Umar lahir dari klan Bani Adi yang bertanggung jawab atas arbitrase antar suku. Umar kuat, bugar, atletis, dan pandai gulat. Dia dikatakan pernah berpartisipasi dalam pertandingan gulat di pameran tahunan Ukaz. Berdasarkan laporan langsung mengenai penampilan fisiknya, Umar dikatakan sebagai seorang pria yang kuat dan sangat tinggi; di pasar dia akan melampaui rakyat. Kepala bagian depan botak, selalu A'sara Yusran (bekerja dengan dua tangan), kedua matanya hitam, kulitnya kuning;
Namun Ibnu Sa'ad mengatakan dalam kitabnya bahwa ia tidak pernah mengetahui bahwa Umar berkulit kuning kecuali pada tahun-tahun tertentu dalam kehidupan Umar yang warna kulitnya sering berubah karena konsumsi minyak. Ada pula yang mengatakan dia mempunyai kulit putih kemerahan. Giginya ashnabul asnan (sangat putih berkilau). Dia selalu mengecat janggutnya dan merawat rambutnya dengan sejenis tanaman.
Di masa mudanya, dia menggembalakan unta ayahnya di dataran dekat Makkah. Ayahnya dikenal di kalangan sukunya karena kecerdasannya. Meskipun melek huruf bukanlah hal yang umum di Arab pra-Islam, Umar belajar membaca dan menulis sejak usia muda. Meskipun dia bukan seorang penyair, dia menyukai puisi dan sastra. Menurut tradisi Quraisy, Umar mempelajari seni bela diri, menunggang kuda dan gulat saat remaja. Ia juga seorang orator berbakat yang menggantikan ayahnya sebagai mediator suku.
Umar menjadi seorang pedagang dan melakukan beberapa perjalanan ke Romawi Bizantium dan Persia Sasaniyah, di mana ia konon bertemu dengan beberapa sarjana dan menganalisis masyarakat Romawi dan Persia. Dia gagal sebagai pengusaha. Seperti orang lain di sekitarnya, Umar suka minum minuman keras pada masa pra-Islam. Pada tahun 610, Nabi Muhammad mulai menyebarkan risalah Islam. Namun seperti banyak orang lainnya di Makkah, Umar menentang Islam dan bahkan mengancam akan membunuh Nabi Muhammad.
Umar memutuskan untuk melestarikan agama musyrik tradisional Arab. Dia tegas dan kejam terhadap Nabi Muhammad dan khususnya menonjol dalam penganiayaan terhadap umat Islam. Dia merekomendasikan kematian Nabi Muhammad. Dia sangat percaya pada persatuan Quraisy dan melihat Islam baru sebagai penyebab perpecahan dan perselisihan. Karena penganiayaan tersebut, Nabi Muhammad memerintahkan beberapa pengikutnya untuk pindah ke Abyssinia.
Ketika sekelompok kecil Muslim melakukan migrasi, Umar khawatir tentang persatuan suku Quraisy di masa depan dan memutuskan untuk membunuh Nabi Muhammad. Dalam perjalanannya untuk membunuh Nabi Muhammad, Umar bertemu dengan temannya Nu'aim bin Abdullah, yang diam-diam masuk Islam tetapi tidak memberitahu Umar tentang hal itu. Ketika Umar memberitahunya bahwa dia sedang bersiap untuk membunuh Nabi Muhammad. Nu'aim menyuruhnya untuk bertanya tentang rumahnya sendiri dan mengatakan bahwa saudara perempuannya Fatimah dan suaminya telah masuk Islam.
Sesampainya di rumahnya, Umar menemukan adik sekaligus iparnya, Sa'id bin Zaid, sedang membacakan ayat Al-Qur'an dari Surat Ta Ha yang diajarkan oleh sahabat Muhammad, Khabbab bin al-Arat. Saat Umar sampai di depan pintu, Khabbab langsung bersembunyi. Umar mulai berkelahi dengan iparnya, Said. Ketika Fatimah datang untuk menyelamatkan suaminya, dia berkata, "Kamu boleh membunuh kami, tapi kami tidak akan meninggalkan Islam."
Mendengar perkataan tersebut, Umar
menjadi marah dan memukul saudarinya dengan keras hingga ia terjatuh dan keluar darah dari mulutnya. Ketika dia melihat darah keluar dari mulut saudarinya, dia terdiam karena rasa bersalah dan secara halus meyakinkan adiknya untuk memberikan apa yang baru saja mereka baca. Saudari perempuannya menjawab tidak dan berkata: "Kamu najis, dan tidak ada orang najis yang boleh menyentuh Kitab Suci." Umar tetap memaksa, namun saudarinya tidak mau dia menyentuh halaman kecuali dia membasuh tubuhnya.
Umar akhirnya menyerah. Ia membasuh tubuhnya lalu mulai membaca Surat Ta Ha ayat 1-14. Pada ayat ke 14, Kemudian Umar menangis dan menyatakan: “Ini sungguh firman Allah. Saya bersaksi bahwa Muhammad adalah Utusan Allah.” Mendengar hal itu, Khabbab keluar dari dalam dan berkata, “Wahai Umar! Kabar baik bagimu. Nabi Muhammad berdoa kepada Allah kemarin, “Ya Allah! Perkuat Islam bersama Umar atau Abu Jahl, siapapun yang engkau sukai diantara mereka” Sepertinya doanya telah terkabul untukmu."
Umar kemudian mendatangi Nabi Muhammad dengan pedang yang sama yang dia gunakan untuk membunuhnya dan menerima Islam di hadapannya dan teman-temannya. Umar berumur 39 tahun ketika masuk Islam. Setelah masuk Islam, Umar secara terbuka shalat di depan Ka'bah sebagai sesepuh Quraisy. Sementara itu, sesepuh Quraisy lainnya seperti Abu Jahal dan Abu Sufyan melihat hal tersebut dengan rasa marah. Hal ini membantu umat Islam untuk lebih percaya pada praktik terbuka ajaran Islam.
Masuknya Umar ke Islam memperkuat masyarakat Muslim dan keyakinan Muslim di Makkah. "Masuk Islamnya Umar adalah kemenangan kita, hijrahnya ke Madinah adalah keberhasilan kita, dan pemerintahannya merupakan berkah dari Allah. Kami tidak salat di Masjidil Haram sampai Umar masuk Islam. Ketika dia masuk Islam, kaum Quraisy terpaksa mengizinkan kami shalat di masjid". Begitulah yang dikatakan oleh Abdullah bin Mas'ud.
Pada tahun 622 Masehi Karena keamanan yang ditawarkan oleh penduduk Yatsrib (kemudian disebut Madīnat an-Nabī atau disingkat Madinah), Nabi Muhammad memerintahkan para pengikutnya untuk pindah ke Madinah. Kebanyakan umat Islam melakukan perjalanan pada malam hari karena takut akan perlawanan dari pihak Quraisy, namun Umar dikatakan meninggalkan tempat umum pada siang hari sambil berkata: "Barangsiapa ingin menjadikan istrinya seorang janda dan anak-anaknya menjadi yatim piatu, maka temuilah aku di gerbang kota." Umar pindah ke Madinah bersama sepupu dan iparnya Sa'id bin Zaid.
Ketika Nabi Muhammad sampai di Madinah, dia memasangkan setiap pendatang (Muhajirin) dengan satu penduduk kota Madinah (Anshar). Nabi Muhammad mempersaudarakan Umar dan Itban bin Malik dan menjadikan mereka saudara seagama. Kaum Muslim tetap damai di Madinah selama sekitar satu tahun sebelum kaum Quraisy mengumpulkan pasukan untuk menyerang mereka. Pada tahun 624, Umar ikut serta dalam pertempuran pertama antara kaum Muslimin dan kaum Quraisy di Makkah, yaitu Pertempuran Badar. Pada tahun 625, ia ikut serta dalam perang Uhud.
Pada fase kedua pertempuran, kavaleri Khalid bin Walid menyerang kaum Muslim dan membalikkan keadaan pertempuran, rumor kematian Nabi Muhammad menyebar dan banyak tentara Muslim disingkirkan dari medan perang, Umar termasuk di antara mereka. Namun, ketika dia mendengar bahwa Nabi Muhammad masih hidup, dia pergi ke Gunung Uhud menemui Nabi Muhammad dan bersiap untuk mempertahankan gunung tersebut. Kemudian pada tahun Umar menjadi bagian dari kampanye melawan suku Yahudi Bani Nadhir. Pada tahun 625, putri Umar, Hafshah menikah dengan Nabi Muhammad.
Pada tahun 627 ia ikut serta dalam Pertempuran Khandaq dan juga Pertempuran Bani Qurayzah. Pada tahun 628, Umar menyaksikan Perjanjian Hudaibiyah. Pada tahun 628 ia bertempur dalam Pertempuran Khaibar. Pada tahun 629, Amr bin Ash dikirim ke Zaat-ul-Sallasal, setelah itu Nabi Muhammad mengirimkan bala bantuan kepada Abu Ubaidah bin Jarrah, termasuk Abu Bakar dan Umar, kemudian mereka menyerang dan mengalahkan musuh. Pada tahun 630, ketika tentara Muslim menaklukkan Makkah, dia menjadi bagian dari tentara tersebut. Kemudian pada tahun 630, ia bertempur dalam Pertempuran Hunain dan Pengepungan Ta'if.
Umar juga ikut serta dalam haji perpisahan Muhammad pada tahun 632. Ketika Muhammad meninggal pada tanggal 8 Juni 632, Umar pada awalnya tidak percaya bahwa dia telah meninggal. Umar diceritakan bersumpah akan membunuh siapa pun yang mengatakan Nabi Muhammad sudah wafat. Umar berkata: “Dia tidak mati, tetapi dia pergi kepada Tuhannya ketika Musa pergi, menghilang dari kaumnya selama empat puluh malam, lalu kembali kepada mereka. Demi Allah, Nabi kembali ketika Musa kembali kepada kaumnya dan dia memotong tangan dan kaki, orang yang menyatakan bahwa dia (Rasulullah) telah wafat.”
Abu Bakar kemudian secara terbuka berbicara kepada masyarakat yang ada di masjid, mengatakan:"Barangsiapa yang menyembah Muhammad, maka ketahuilah bahwa Muhammad telah mati, namun barangsiapa yang menyembah Allah, maka ketahuilah bahwa Allah itu hidup dan tidak pernah mati ." Lalu membacakan ayat dalam Al-Qur'an yang berbunyi:
يٰۤـاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْۤا اِنْ تُطِيْعُوْا فَرِيْقًا مِّنَ الَّذِيْنَ اُوْتُوا الْكِتٰبَ يَرُدُّوْكُمْ بَعْدَ اِيْمَا نِكُمْ كٰفِرِيْنَ
Artinya:"Wahai orang-orang yang beriman! Jika kamu mengikuti sebagian dari orang yang diberi Kitab, niscaya mereka akan mengembalikan kamu menjadi orang kafir setelah beriman."(QS. Ali 'Imran surah ke 3: Ayat 100)
Mendengar hal ini, Umar berlutut dalam kesedihan dan menerima kematian Nabi Muhammad. Sunni mengatakan bahwa penyangkalan kematian Nabi Muhammad adalah karena cintanya yang mendalam terhadapnya. Umar bin Khattab menjadi khalifah setelah Abu Bakar Ash-Shiddiq wafat. Hal ini berdasarkan wasiat Abu Bakar Ash-Shiddiq sebelum wafat. Berikut merupakan beberapa kebijakan saat menjadi khalifah.
1. Menetapkan kalender hijriah yang dimulai dari hijrahnya Rasulullah ke Madinah;
2. Membebaskan Baitul Maqdis dan melakukan perluasan wilayah Islam; Baca juga: Sang Pembebas Baitul maqdis
3. Membentuk lembaga-lembaga negara;
4. Membagi wilayah Islam;
5. Mendirikan lembaga pendidikan dan kajian Al-Qur'an;
6. Memperluas Masjidil Haram dan Masjid Nabawi dan menambahkan beberapa fasilitas seperti lampu gantung, wewangian, dan juga alas tikar di masjid tersebut;
7. Membangun pusat perbendaharaan negara atau Baitul mal di Madinah dan kota lainnya;
8. Membangun berbagai infrastruktur mulai dari pembangunan perkotaan, saluran udara dan bangunan yang disponsori pemerintah seperti bangunan keagamaan, bangunan militer dan bangunan sipil. Fasilitas pendukung seperti jalan dan jembatan juga dibangun bersamaan dengan pembangunan ini.
9. Shalat tarawih berjamaah;
10. Menetapkan Jum'at sebagai hari libur.
Ketika kelaparan berakhir di Arab, wabah tersebut menghancurkan banyak wilayah di Suriah dan Palestina. Ketika Umar sedang dalam perjalanan ke Eilat, Suriah, ia diterima oleh gubernur Suriah, Abu Ubaidah bin Jarrah, yang memberitahunya tentang wabah tersebut dan intensitasnya, dan menyarankan Umar untuk kembali ke Madinah. Umar mencoba membujuk Abu Ubaidah untuk menemaninya ke Madinah, namun ia menolak meninggalkan pasukannya dalam situasi kritis ini. Abu Ubaidah meninggal pada tahun 639 akibat wabah penyakit yang juga merenggut nyawa 25.000 umat Islam di Suriah. Ketika wabah mereda pada akhir tahun 639, Umar mengunjungi Suriah untuk melakukan reorganisasi politik dan administrasi, karena sebagian besar komandan veteran dan gubernur telah meninggal karena wabah tersebut.
Suatu pagi yang gelap, ketika Umar sedang memimpin salat subuh berjamaah di Masjid Nabawi Madinah, Abu Lu'lu'ah menikamnya dengan belati bermata dua. Kronologi kejadiannya berbeda-beda versinya: menurut salah satu versi, ia juga membunuh Kulaib bin Bukair al-Laits yang berdiri di belakang Umar, menurut versi lain, ia menikam tiga belas orang yang mencoba menangkapnya. Menurut beberapa laporan, khalifah meninggal pada hari yang sama, sementara yang lain menyatakan bahwa dia meninggal tiga hari kemudian. Namun Umar meninggal karena luka-lukanya pada Rabu, 26 Dzulhijjah 23 H (6 November 644 menurut penanggalan M).
C. Utsman bin Affan
Utsman bin Affan lahir di Thaif pada 576 M dari pasangan Affan bin Abi al-Ash dari suku bani Umayyah dan Arwa binti Kuraiz dari Abdshams, kedua suku kaya dan terpandang Quraisy di Makkah. Utsman mempunyai seorang saudara perempuan yang bernama Amina. Dia adalah salah satu dari 22 orang Makkah yang bisa menulis. Ayahnya, Affan, meninggal dalam usia muda saat bepergian ke luar negeri, meninggalkan warisan yang besar bagi Utsman. Ia menjadi saudagar seperti ayahnya dan bisnisnya menjadi makmur, menjadikannya salah satu orang terkaya di kalangan Quraisy.
Setelah kembali dari perjalanan bisnis ke Suriah pada tahun 611, Utsman mengetahui tentang misi yang diumumkan oleh Nabi Muhammad. Setelah berbincang dengan temannya Abu Bakar, Utsman memutuskan untuk masuk Islam, dan Abu Bakar membawanya menemui Nabi Muhammad untuk memberitakan imannya. Utsman merupakan salah satu orang pertama yang masuk Islam setelah Ali bin Abi Thalib, Zaid, Abu Bakar dan beberapa orang lainnya. Masuknya dia ke Islam membuat marah sukunya, Bani Umayyah, yang sangat menentang ajaran Nabi Muhammad.
Pada masa Jahiliyah, Utsman sering dipanggil Abu Layla karena sifatnya yang lemah lembut dan baik hati terhadap orang lain. Pada masa Jahiliyah ia juga dipanggil Abu Amr. Setelah era Islam, ia lebih sering disebut dengan Abu Abdullah. Nabi Muhammad sendiri menggambarkan Utsman bin Affan sebagai orang paling jujur dan rendah hati di kalangan umat Islam. Utsman juga dijuluki Dzun Nurain yang artinya memiliki dua cahaya. Julukan itu diberikan karena Utsman menikah dengan putri kedua dan ketiga Nabi, yaitu Ruqayyah dan Ummu Kultsum.
Utsman dan istrinya Ruqayyah berimigrasi ke Habbasyah (sekarang Etiopia) pada bulan April 615 bersama sepuluh pria Muslim dan tiga wanita. Sekelompok Muslim kemudian bergabung dengan mereka. Karena Utsman sudah mempunyai beberapa koneksi bisnis di Abyssinia, ia terus bekerja sebagai pedagang dan menjadi makmur. Ketika Nabi Muhammad pertama kali meminta hijrah karena meningkatnya tekanan terhadap umat Islam dari Quraisy Habbasyah, Utsman bersama istrinya dan umat Islam lainnya mengindahkan seruan tersebut dan pindah ke Habbasyah hingga tekanan Quraisy mereda. Tak lama setelah tinggal di Makkah, Utsman mengikuti Nabi Muhammad dan pindah ke Madinah.
Pada peristiwa Hudaibiyah, Rasulullah mengutus Utsman ke Makkah untuk menemui Abu Sufyan. Utsman disuruh menegaskan bahwa rombongan Madinah hanya akan menyembah Ka'bah lalu segera kembali ke Madinah dan tidak berperang melawan penduduk Mekah. Setelah empat tahun, tersebar kabar di kalangan umat Islam Habbasyia bahwa kaum Quraisy Makkah menerima Islam, dan penerimaan ini menyebabkan Utsman, Ruqayyah dan 39 umat Islam lainnya kembali. Namun sesampainya di Mekkah, mereka mengetahui bahwa kabar masuknya suku Quraisy ke Islam adalah berita bohong. Namun Utsman dan Ruqayyah kembali ke Makkah untuk tinggal.
Pada tahun 622, Utsman dan istrinya Ruqayyah termasuk kelompok Muslim ketiga yang bermigrasi ke Madinah. Setelah kedatangannya, Utsman tinggal bersama Abu Thalhah bin Thabit sebelum pindah ke rumah yang dibelinya beberapa waktu kemudian. Utsman adalah salah satu saudagar terkaya di Makkah dan tidak membutuhkan bantuan keuangan dari saudara-saudara Ansar karena ia membawa kekayaan besar yang telah ia kumpulkan ke Madinah.
Sebagian besar umat Islam di Madinah adalah petani yang tidak tertarik pada bisnis, dan orang-orang Yahudi melakukan sebagian besar bisnis di kota tersebut. Utsman menyadari bahwa ada peluang bisnis yang sangat bagus untuk mempromosikan perdagangan antar-Muslim dan segera memantapkan dirinya sebagai pedagang di Madinah. Berkat kerja keras dan kejujurannya, bisnisnya berkembang pesat dan menjadikannya salah satu orang terkaya di Madinah.
Ketika perang Dzatirriqa dan perang Ghatfahan berkecamuk, dengan Nabi Muhammad yang memimpin perang, Utsman dipercaya sebagai walikota Madinah. Selama Perang Tabuk, Utsman menyumbangkan 950 ekor unta dan 70 kuda serta 1.000 dirham sebagai hadiah pribadi untuk Perang Tabuk, setara dengan sepertiga biaya perang. Utsman bin Affan juga menunjukkan kemurahan hatinya dengan membeli sumber mata air bernama Rumah dari seorang pria suku Ghifar seharga 35.000 dirham. Dia memberikan mata air kepada masyarakat umum.
Pada masa pemerintahan Abu Bakar, Utsman juga memberikan 1.000 ekor unta gandum untuk membantu masyarakat miskin yang menderita akibat musim kemarau. Utsman mempunyai hubungan yang sangat dekat dengan Abu Bakar karena karena dialah Utsman masuk Islam. Ketika Abu Bakar terpilih menjadi khalifah, Utsman adalah orang pertama yang menyatakan kesetiaannya setelah Umar. Selama perang, Ridda Utsman tetap tinggal di Madinah sebagai penasihat Abu Bakar. Di ranjang kematiannya, Abu Bakar mendiktekan keinginannya kepada Utsman dan mengatakan kepadanya bahwa Umar akan menjadi penggantinya.
Sepeninggal Umar bin Khattab sebagai khalifah kedua, dilakukan perundingan untuk memilih khalifah berikutnya. Calon khalifah ada enam, yaitu Ali bin Abi Thalib, Utsman bin Affan, Abdurrahman bin Auf, Sa’ad bin Abi Waqqas, Zubair bin Awwam dan Thalhah bin Ubaidillah. Abdurrahman bin Auf, Sa'ad bin Abi Waqqas, Zubair bin Awwam dan Talhah bin Ubaidillah mengundurkan diri hingga hanya tersisa Utsman dan Ali bin Abi Thalib. Utsman terpilih sebagai khalifah ketiga dalam pemungutan suara masyarakat saat itu. Dengan demikian, Utsman yang berusia 70 tahun diangkat sebagai khalifah ketiga dan tertua, serta calon pertama dari beberapa calon. Peristiwa ini terjadi pada tanggal 23 Muharram H.
Kebijakan Utsman bin Affan selama menjadi khalifah, antara lain:
1. Mencetuskan ide polisi keamanan bagi rakyatnya;
2. Membuat bangunan khusus untuk mahkamah dan mengadili perkara yang sebelumnya dilakukan di masjid;
3. Membangun pertanian;
4. Membentuk angkatan laut yang kuat;
5. Mengumpulkan Al-Quran dalam satu mushaf;
6. Mengganti gubernur wilayah yang tidak cocok atau kurang cakap dan menggantikannya dengan orang-orang yang lebih kredibel;
7. Melakukan perluasan wilayah Islam ke Yaman, Armenia, Tunisia dan Azerbaijan;
8. Menyempurnakan kodifikasi mushaf Al-Qur'an dan menyatukan perbedaan dalam pelafalan bacaan Al-Qur'an.
Politik Mesir memainkan peran penting dalam perang propaganda melawan kekhalifahan, sehingga Utsman mengundang gubernur Mesir, Abdullah ibn Saad, ke Madinah untuk mendiskusikan langkah-langkah yang akan diambil bersamanya. Abdullah bin Saad tiba di Madinah, menyerahkan urusan Mesir kepada wakilnya, dan saat dia tidak ada, Muhammad bin Abi Hudhaifa melancarkan kudeta dan merebut kekuasaan. Mendengar tentang pemberontakan Mesir, Abdullah bergegas kembali, namun Utsman tidak mampu memberinya bantuan militer, dan oleh karena itu Abdullah bin Saad tidak mendapatkan kembali kekuasaannya karena kekuatan besar Muslimnya datang dari timur.
Pasukan berjumlah sekitar 1.000 orang dikirim dari Mesir ke Madinah dengan instruksi untuk membunuh Utsman dan menggulingkan pemerintah. Pasukan serupa berbaris dari Kufah dan Basra ke Madinah. Mereka mengirimkan perwakilannya ke Madinah untuk menghubungi para pemimpin opini publik. Perwakilan pasukan Mesir menunggu Ali bin Abi Thalib dan menawarinya kekhalifahan alih-alih Utsman, namun Ali bin Abi Thalib menolak. Perwakilan dari kufah menunggu di Al-Zubayr, sementara perwakilan pasukan Basra menunggu di Talhah dan menawarkan kesetiaan kepada khalifah berikutnya, namun ditolak.
Dengan menawarkan alternatif terhadap kekhalifahan Utsman, para pemberontak menetralisir sebagian besar opini publik Madinah, dan faksi Utsman tidak lagi mampu membentuk front persatuan. Utsman mendapat dukungan aktif dari Bani Umayyah dan beberapa orang lain yang tinggal di Madinah. Ketika pemberontak Mesir kembali ke Madinah karena marah dengan surat resmi yang memerintahkan eksekusi pemimpin mereka, Ali bin Abi Thalib, sebagai penjamin janji Utsman, meminta Utsman untuk berbicara langsung dengan para pemberontak. Utsman membantah mengetahui surat tersebut dan Ali bin Abi Thalib serta Muhammad bin Maslamah mengakuinya.
Namun saat itu satu-satunya pilihan yang ditawarkan pemberontak adalah pengunduran diri Utsman dan pemilihan khalifah lain. Saat kekacauan terjadi, Ali bin Abi Thalib pergi. Tampaknya ia putus asa terhadap Utsman karena ia tidak mampu memutus pengaruh Marwan terhadap khalifah. Ali turun tangan hanya setelah menerima kabar bahwa pemberontak menghalangi pasokan air ke khalifah yang diperangi. Dia mencoba mengurangi parahnya pengepungan dengan bersikeras agar Utsman punya air. Ia juga mengutus dua orang putranya untuk mempertahankan rumah Utsman ketika ada ancaman penyerangan.
Situasi memburuk pada Kamis, 16 Juni. Saat Utsman sedang berdiri di balkon, teman Muhammad, Niyar bin Iyadh Aslami, menguliahinya di luar dan menuntut pengunduran dirinya. Sebagai tanggapan, salah satu pelayan Marwan melempar batu, membunuh Niyar. Marah dengan penolakan Utsman untuk menyerahkan penjajah, para pemberontak mulai mempersiapkan serangan. Keesokan harinya, Jumat, 17 Juni, mereka menyerang rumahnya dan membakar pintunya.
Utsman memerintahkan para pembelanya untuk meletakkan senjata dan tidak berperang karena tidak ingin terjadi pertumpahan darah. Namun, beberapa dari mereka, termasuk Marwan dan Sa'id bin al-'As, menolak dan menyerang para pemberontak, yang mendorong mereka kembali melalui salah satu pintu. Beberapa pembela tewas dalam pertempuran tersebut, sementara Marwan dan Sa'id terluka. Abdullah bin Zubair dan Hasan bin Ali juga dikatakan terluka, meskipun laporan lain mengatakan mereka meletakkan senjata atas perintah Utsman sebelumnya.
Saat salat Zuhur, Utsman sendirian di rumah bersama istrinya Naila sambil membacakan Al-Qur'an. Beberapa pemberontak Mesir naik ke rumah tetangga dan kemudian melompat ke rumah Utsman. Menurut Al-Waqid (w. 823), Muhammad bin Abu Bakar memegang janggut Utsman dan mengancam akan membunuhnya. Utsman memarahinya dan memintanya pergi. Muhammad menusuk keningnya dengan anak panah. Namun di kisah lain, Muhammad berhenti membunuh Utsman ketika dia mengingatkannya pada ayahnya, Abu Bakar. Muhammad kemudian mencoba dengan sia-sia untuk melindunginya dari para penyerang.
Kinanah bin Bisyr al-Tujibi kemudian membunuhnya dengan cara menusuknya di belakang telinga dengan anak panah dan tebasan pedang. Menurut variasinya, Kinana memukulnya dengan tongkat logam dan dia jatuh ke tanah. Sudan bin Humran membunuhnya. Dalam kedua cerita tersebut, Amr bin Hamiq kemudian duduk di dadanya dan menikamnya beberapa kali. Kemudian rumahnya digeledah. Jenazah Utsman dikuburkan pada malam hari di pemakaman Yahudi karena para pemberontak tidak mengizinkannya dimakamkan di pemakaman Muslim.
D. Ali bin Abi Thalib
Ali bin Abi Thalib lahir di Makkah, Hijaz, Jazirah Arab pada tahun 600 M dari pasangan Abu Thalib bin Abdul Muthalib dan Fatimah binti Asad. Ali bin Abi Thalib merupakan sepupu dari Rasulullah dan sama-sama berasal dari Bani Hasyim. Ali mungkin satu-satunya yang lahir di Ka'bah, tempat paling suci umat Islam, yang terletak di Makkah. Ayah Ali adalah seorang anggota senior dan terkemuka dari klan Bani Hasyim dari suku Quraisy Makkah.
Abu Thalib juga membesarkan keponakannya Nabi Muhammad setelah kematian orang tuanya. Kemudian, ketika Abu Thalib jatuh miskin, Ali diadopsi pada usia sekitar lima tahun dan dibesarkan oleh Nabi Muhammad dan istrinya Khadijah binti Khuwailid. Ketika Ali berusia sekitar sepuluh atau sebelas tahun, dia adalah salah satu orang pertama yang menerima ajaran Nabi Muhammad dan menerima Islam. Ali bin Abi Thalib masuk Islam setelah Khadijah dan sahabat Nabi Muhammad Abu Bakar. Meskipun ulama Syiah dan Sunni memperdebatkan perintah pastinya, sumber paling awal menempatkan Ali sebelum Abu Bakar.
Selama dakwah Muhammad di Makkah yang berlangsung dari tahun 610 hingga 622, Ali bin Abi Thalib aktif mendukung komunitas kecil Muslim, khususnya masyarakat miskin. Kurang lebih tiga tahun setelah wahyu pertamanya, Nabi Muhammad memanggil para sanak saudaranya untuk bersama-sama memberikan teguran pertama, mengajak mereka masuk Islam dan meminta bantuan mereka dalam menegakkan landasan agama barunya. Ketika dia berusia sekitar empat belas tahun, Ali bin Abi Thalib adalah satu-satunya kerabat yang menawarkan dukungannya, kemudian Nabi Muhammad memberi tahu tamunya bahwa Ali bin Abi Thalib adalah saudara laki-lakinya dan penerusnya.
Menurut tafsir Syiah, peristiwa ini merupakan tanda bahwa Nabi Muhammad telah mengangkat Ali bin Abi Thalib sebagai penggantinya. Pada tahun 622, ketika Muhammad diberitahu tentang rencana pembunuhan oleh para tetua Quraisy, Muhammad melarikan diri ke Yatsrib, yang sekarang dikenal sebagai Medina, namun Ali tetap tinggal di rumah Muhammad sebagai umpan bagi para pembunuh. Peristiwa Ali bin Abi Thalib mempertaruhkan nyawanya demi Nabi Muhammad disebut-sebut menjadi alasan diturunkannya ayat Al-Qur'an yang berbunyi:
وَمِنَ النَّا سِ مَنْ يَّشْرِيْ نَفْسَهُ ابْتِغَآءَ مَرْضَا تِ اللّٰهِ ۗ وَ اللّٰهُ رَءُوْفٌ بِۢا لْعِبَا دِ
Artinya:"Dan di antara manusia ada orang yang mengorbankan dirinya untuk mencari keridaan Allah. Dan Allah Maha Penyantun kepada hamba-hamba-Nya."(QS. Al-Baqarah surah ke 2: Ayat 207)
Ali pun meninggalkan Mekah setelah mengembalikan benda-benda titipan Nabi Muhammad SAW kepada pemiliknya. Kemudian di Madinah, Nabi Muhammad memilih Ali bin Abi Thalib sebagai saudaranya ketika dikawinkan dengan seorang muslim untuk menjalin persaudaraan. Sekitar tahun 623-625, Nabi Muhammad menikahkan putrinya Fathimah dengan Ali, ketika Ali saat itu berusia sekitar dua puluh dua tahun. Nabi Muhammad sebelumnya telah menolak lamaran pernikahan yang dilakukan kepada Fathimah oleh beberapa sahabatnya, terutama Abu Bakar dan Umar bin Khattab.
Ali terkenal karena keberaniannya di medan perang dan kemurahan hatinya dalam mengalahkan musuh. Dia adalah pembawa panji di Pertempuran Badar (624) dan Pertempuran Khaibar (628). Beliau dengan tegas membela Nabi Muhammad pada Perang Uhud (625) dan Perang Hunain (630), bahkan kemenangan umat Islam pada Perang Khaibar tak lepas dari keberaniannya, dimana beliau konon mampu merobohkan dan mengangkat besi gerbang dari benteng musuh. Ali bin Abi Thalib juga berhasil mengalahkan jagoan Quraisy Amr bin Abdul Wudd pada Pertempuran Khandaq tahun 627. Nabi Muhammad diceritakan mendengar suara Ilahi yang bergema pada ucapan Uhud yang mengatakan "Tidak ada pedang kecuali Zulfikar dan tidak ada pemuda ksatria kecuali Ali."
Pada tahun 628, Ali menulis ketentuan Perjanjian Hudaybiyah, sebuah perjanjian damai antara umat Islam dan orang-orang kafir di Mekah. Pada tahun 630, wahyu ilahi mendorong Muhammad untuk menggantikan Abu Bakar Ali dengan Ali untuk pengumuman penting terkait Al-Qur'an di Makkah. Ali bin Abi Thalib juga ikut dalam Penaklukan Makkah membantu memastikan pada tahun 630 tidak menumpahkan darah dan kemudian menghancurkan berhala-berhala yang ada di Ka'bah.
Pada tahun 631, Ali bin Abi Thalib diutus untuk mendakwahkan Islam ke Yaman, untuk mengajarkan Islam kepada penduduk Hamdani di Yaman, yang berpindah agama dengan damai. Ali juga menyelesaikan secara damai perselisihan berdarah antara umat Islam dan Bani Jadzimah. Ketika Muhammad meninggal tahun 632, sekelompok Muslim mengadakan pertemuan tanpa kehadiran Ali dan mencalonkan Abu Bakr Ash-Shiddiq (memerintah 632-634) sebagai khalifah baru. Ali bin Abi Thalib kemudian melepaskan klaimnya atas kepemimpinan dan menarik diri dari kehidupan publik pada masa pemerintahan Abu Bakar dan penggantinya Umar bin Khattab (memerintah 634-644).
Meski terkadang diajak berkonsultasi, konflik antara Ali bin Abi Thalib dan dua khalifah pertama ditandai dengan penolakannya untuk mengikuti praktik mereka. Karena penolakan tersebut, Ali bin Abi Thalib kehilangan kesempatan menjadi khalifah hingga Utsman bin Affan (memerintah 644-656) diangkat oleh Dewan Pemilihan menggantikan Umar. Ali bin Abi Thalib juga sangat kritis terhadap Utsman, yang banyak dituduh melakukan nepotisme dan korupsi. Namun Ali bin Abi Thalib juga berulang kali bertindak sebagai perantara antara khalifah dan pemberontak tingkat provinsi yang marah atas kebijakan kontroversial khalifah.
Setelah pembunuhan Utsman pada tahun 656, Ali terpilih menjadi khalifah di Madinah. Dia segera menghadapi dua pemberontakan terpisah, keduanya bertujuan membalas kematian Utsman dan menuntut agar khalifah menangkap pembunuhnya. Pemberontakan pertama diprakarsai oleh tiga serangkai Thalha, Zubair, kedua temannya dan janda Aisyah, yang memerintah Basra di Mesopotamia Hilir; Ali mengalahkan mereka pada Pertempuran Jamal pada tahun 656. Muawiyah bin Abu Sufyan, yang baru saja digulingkan Ali sebagai gubernur Suriah, melawan Ali pada Pertempuran Siffin pada tahun 657, yang berakhir dengan arbitrase yang gagal dan mendorong beberapa pendukung Ali ke pengasingan. Mereka membentuk kelompok Khawarij yang meneror masyarakat dan dihancurkan oleh Ali bin Abi Thalib pada Pertempuran Nahrawan tahun 658.
Ali dibunuh saat salat subuh tanggal 28 Januari 661 di Masjid Agung Kufah, tanggal lain yang tercatat adalah 26 dan 30 Januari. Abdurrahman bin Muljam, seorang pemberontak Khawarij, memukul kepalanya dengan pedang beracun atas kekalahannya di Pertempuran Nahrawan. Ali meninggal pada usia enam puluh dua atau enam puluh tiga tahun. Sebelum meninggal, Ali bin Abi Thalib mengatakan jika meninggal maka Ibnu Muljam akan dieksekusi sebagai balas dendam (qishash) dan jika selamat maka Ibnu Muljam akan dibebaskan. Namun, Ali meninggal karena luka-lukanya sekitar dua hari kemudian, dan Ibnu Muljam kemudian mengeksekusi putra sulung Ali, Hasan.
Makam Ali dirahasiakan karena takut jenazahnya akan digali dan dinajiskan oleh musuh-musuhnya, dan masih belum diketahui secara pasti. Jenazah Ali bin Abi Thalib konon disimpan di beberapa tempat, antara lain makam Ali bin Abi Thalib di Najaf dan makam Ali bin Abi Thalib di Mazar. Situs Najaf didirikan pada masa pemerintahan khalifah Abbasiyah Harun Ar-Rasyid (786-809), dan kota Najaf di sekitarnya menjadi situs ziarah penting Syiah.
Makam Besar Najaf yang bertahan hingga saat ini dibangun oleh Safawi, Safi dari Iran (1629-1642). Di dekat makam terdapat kuburan besar bagi kaum Syi'ah yang ingin dimakamkan di samping imam mereka. Najaf juga kemudian menjadi rumah bagi perguruan tinggi agama dan ulama Syiah terkemuka. Tempat lain yang konon menjadi lokasi makam Ali bin Abi Thalib antara lain Bagdad, Damaskus, Madinah, dan Ray. Sementara itu, sejumlah kecil penganut Syiah meyakini makam Ali ada di suatu tempat di Kufah.
E. Pandangan umat Islam mengenai Khulafaur Rasyidin
1. Sunni (ahlussunah wal jama'ah)
Dalam Islam Sunni, penggunaan label "petunjuk yang benar" oleh Rashidun Khulafaur mengacu pada model orang-orang yang tindakan dan pendapatnya (Sunnah) diikuti dan ditiru dari sudut pandang agama. Dalam pengertian ini mereka “dibimbing dengan benar” atau “mendapat petunjuk”. Kisah-kisah tentang agama dan kehidupan mereka merupakan panduan menuju keimanan yang sejati. Kaum Sunni telah lama menganggap periode Khulafaur Rasyidin sebagai sistem pemerintahan teladan yang ingin mereka tiru.
Sunni juga menyamakan sistem ini dengan kesuksesan duniawi yang dijanjikan Tuhan dalam Al-Qur'an dan Hadits. Bagi umat Islam yang mencari kesenangan, keberhasilan luar biasa ini menambah daya tarik para peniru zaman Khulafaur Rasyidin. Namun, tercatat bahwa orang-orang Arab, yang memerintah orang-orang non-Arab karena alasan etnis pada masa pemerintahan Umar dan meluasnya nepotisme Kekhalifahan Utsman, menolak seruan Islam.
2. Syiah
Syiah mengklaim bahwa silsilah Nabi Muhammad terjadi karena janji ilahi, bukan persetujuan. Allah memilih penerus Nabi Muhammad dari kalangan keluarganya sendiri. Kondisi ini serupa dengan kondisi para nabi terdahulu yang disebutkan dalam Al-Qur'an. Menurut pandangan Syiah, Allah, seperti para nabi Al-Qur'an sebelumnya, memilih pengikut Nabi Muhammad dari kalangan keluarganya sendiri. Secara khusus, Muhammad mendeklarasikan sepupu dan menantu laki-lakinya, Ali, sebagai penerusnya yang sah.
Tentu saja, seperti iman itu sendiri, orang-orang beriman mempunyai kebebasan untuk tidak mengikuti Ali sehingga merugikan mereka sendiri. Meski kaum Syi'ah meyakini wahyu langsung berakhir dengan wafatnya Nabi Muhammad, namun Ali tetap menjadi pembimbing atau imam sejati kepada Tuhan, sama seperti para pengikut para nabi Al-Qur'an masa lalu. Sepeninggal Nabi Muhammad, Ali mewarisi ilmu ketuhanan Nabi Muhammad dan wewenang untuk menafsirkan Al-Qur'an dengan benar, terutama ayat-ayat alegoris dan metaforisnya ("mutasyabihat").
3. Khalifah kelima
Beberapa penulis dan ulama Sunni memasukkan putra Ali, Hasan bin Ali, sebagai Khulafaur Rasyidin kelima. Mereka yang mengikuti versi tersebut mengatakan bahwa Nabi Muhammad mendirikan kekhalifahan Rasyidin selama 30 tahun dan Hasan mengisi sisa enam bulan masa jabatan ayahnya, menurut Ibnu Katsir, Ibnul Arabi, dan Qadi Iyadh. Sedangkan ulama Sunni lainnya menambahkan Umar bin Abdul Aziz, Khalifah Bani Umayyah ke-8, sebagai Khulafaur Rasyidin yang kelima. Mereka menemukan bahwa keshalihan Umar bin Abdul Aziz serupa dengan keshalihan keempat Khulafaur Rasyidin. Umar bin Abdul Aziz juga sering dibandingkan dengan khalifah kedua, Umar bin Khattab, dalam hal kesederhanaan dan kekuatannya.
Nb: Terlepas dari pandangan umat Islam disini penulis hanya menyampaikan saja.
F. Nilai keteladanan yang dapat diambil dari Khulafaur Rasyidin
1. Abu Bakar Ash-Shiddiq
a. Kesetiaan dan kecintaan terhadap Rasulullah;
b. Ketulusan dan keteguhan dalam berdakwah;
c. Senantiasa bersegera dalam beramal shalih; Baca juga: Bersegeralah dalam beramal shalih
d. Berkorban dijalan Allah;
e. Hidup tawadhu dan sederhana.
2. Umar bin Khattab
a. Bermusyawarah dalam menyelesaikan perbedaan pendapat;
b. Adil dan bijaksana dalam mengambil setiap keputusan;
c. Tegas dan berani dalam kebenaran;
d. Sederhana dan merakyat dalam kehidupan;
e. Bertanggungjawab sebagai pemimpin.
3. Utsman bin Affan
a. Mempunyai sifat lembut dan pemalu;
b. Dermawan; Baca juga: Indahnya saling berbagi dengan zakat, infak dan shadaqah
c. Jujur; Baca juga: Bersikap jujur dan amanah dalam setiap sendi-sendi kehidupan
d. Tegas dalam memimpin;
e. Bertutur kata sopan. Baca juga: Saling menghormati dan menghargai satu sama lain
4. Ali bin Abi Thalib
a. Kesungguhan dalam menuntut ilmu; Baca juga: Semangat menuntut ilmu dan indahnya saling berbagi ilmu
b. Akhlak yang baik;
c. Berani berjuang dijalan Allah;
d. Peduli terhadap kaum duafa;
Baca juga:
e. Bijaksana dalam menghadapi masalah.
Penutup:
Khulafaur Rasyidin merupakan sekelompok pemimpin yang dianggap sebagai generasi terbaik sejak wafatnya Nabi Muhammad. Mereka dikenal karena keadilan, teladan dan pengabdiannya dalam memimpin umat Islam. Para pemimpin seperti Abu Bakar, Umar bin Khattab, Utsman bin Affan dan Ali bin Abi Thalib memberikan contoh penting sejarah Islam dan meletakkan landasan bagi perkembangan peradaban Islam saat itu. Mungkin ini saja yang dapat penulis sampaikan pada pembahasan kita kali ini. Kuranglebihnya penulis mohon maaf. Sekian dan terimakasih.
Penulis: Maulana Aditia
Komentar
Posting Komentar